Turunkan Emisi, Masyarakat Diimbau Beralih ke Transportasi Publik
Institute for Essential Service Reform (IESR) mengatakan penggunaan kendaraan pribadi yang tinggi di Indonesia menjadi salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca (GRK). Sustainable Mobility Analyst IESR Rahmi Puspita Sari mengatakan, pemerintah harus memperkuat upaya agar masyarakat beralih menggunakan transportasi publik.
"Pemerintah saat ini sangat masif mendorong penggunaan kendaraan listrik yang sebenarnya bukan solusi tepat untuk mengurangi emisi GRK," ujar Rahmi dalam diskusi tentang dekarbonisasi transportasi di Indonesia yang digelar IESR secara daring, Selasa (5/12).
Rahmi menyebutkan, berdasarkan analisis IESR, tingkat laju pertumbuhan kendaraan pribadi selalu lebih banyak dibandingkan dengan perumbuhan populasi penduduk pada 2017-2021. Selain itu, jumlah sepeda motor yang mendominasi dari total jumlah kendaraan yang terdaftar yaitu sebesar 84,54%.
Oleh sebab itu, dia mengatakan bahwa penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kedua setelah energi setiap tahun adalah sektor transportasi. ”Sektor transportasi tumbuh tinggi setiap tahunnya, dan konsumsi energinya menjadi yang terbesar pada 2021, menggantikan sektor industri," kata Rahmi.
Berdasarkan analisis IESR, pergerakan angkutan penumpang transporasi darat menyumbang emisi sebesar 70% dari total emisi transportasi. Bahkan, dari 150 juta ton karbondioksida (CO2) kontribusi sepeda motor merupakan yang terbesar, yakni 36,1%, sedangkan mobil penumpang sebesar 21,8%.
Meski begitu, pemerintah bisa melakukan sejumlah upaya salah satunya dengan menerapkan strategi avoid-shift-improve. Strategi ini artinya, masyarakat bisa mengurangi emisi GRK dengan tidak berpergian, atau jika hal itu tidak bisa dilakukan maka masyarakat perlu beralih mengunakan transportasi publik.
Sementara itu, pada kesempatan yang sama Ekonom Energi Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (Eria) Alloysius Joko Purwanto menilai, program subsidi untuk kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pengurangan emisi GRK di Indonesia tanpa adanya dekarbonisasi di sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
"Kita tahu PLTU hingga saat ini masih menjadi kontributor terbesar dalam kelistrikan nasional, mencapai lebih dari 60%. Sedangkan energi terbarukan baru sekitar 15%," kata dia.
Transportasi Darat Jadi Penyumbang Emisi Terbesar
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyampaikan sektor transportasi merupakan penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar kedua yaitu sebesar 23%. Transportasi darat merupakan penyumbang emisi GRK tertinggi di sektor transportasi, yaitu sebesar 600 MtCO2eq atau 90% dari seluruh sektor transportasi.
Jumlah tersebut mendekati sektor energi yang menempati posisi pertama penghasil emisi GRK terbesar pada 2021. Fabby meminta agar pemerintah tidak hanya fokus pada sektor ketenagalistrikan jika ingin mencapai target emisi nol bersih atau net zero emission (NZE) pada 2060.
"Jadi pemerintah harus terus melakukan sejumlah upaya untuk mengurangi emisi GRK pada transportasi, karena kalau kita lihat sumber emisi di Indonesia itu, tidak saja berasal dari ketenagalistrikan tapi berasal juga dari industri dan transportasi," ujar Fabby
Dia mengatakan, emisi transportasi diperkirakan akan terus naik jika pemerintah dan masyarakat tidak bekerja sama berupaya mengurangi emisi GRK pada sektor transportasi darat. Pasalnya, konsumsi bahan bakar minyak akan terus meningkat.
"Emisi di sektor transportasi ini disumbang hampir seluruhnya berasal dari transportasi darat, apalagi transportasi darat masih banyak menggunakan bahan bakar fosil," kata dia.
Sesuai dengan target Paris Agreement, emisi dari transportasi di Indonesia perlu diturunkan menjadi 100 MtCO2eq pada tahun 2050. Sedangkan dalam perhitungan IESR, seluruh sektor energi termasuk transportasi harus mendekati nol emisi pada 2050 jika ingin kenaikan suhu global tetap berada di bawah 1,5 derajat Celcius.