Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang biasa disebut Conference of the Parties ke-28 (COP28), telah memobilisasi pembiayaan lebih dari US$ 83 miliar atau setara dengan Rp 1,28 kuadriliun dalam lima hari pertemuan pertama. Pendanaan tersebut untuk sektor mengatasi dampak dan mitigasi perubahan iklim.
Pemerintah, dunia usaha, investor dan filantropi telah mengumumkan pendanaan tersebut untuk menangani kerusakan sekaligus pencegahan dampak perubahan iklim.
“Gelaran COP28 juga merupakan deklarasi pertama tentang transformasi sistem pangan dan kesehatan, ditambah deklarasi tentang energi terbarukan dan efisiensi, serta inisiatif untuk mengurangi industri penghasil emisi berat,” tulis siaran pers COP28 yang diterima redaksi Katadata.co.id, Kamis (7/12).
Adapun pendanaan iklim tersebut adalah:
- Uni Emirat Arab (UEA) yang telah meluncurkan dana ALTÉRRA senilai US$ 30 miliar. Dana ini menekankan pada pembukaan pendanaan swasta di negara-negara Selatan. UEA juga mengumumkan pendanaan US$ 200 juta untuk SDR dan US$ 150 juta untuk keamanan air.
- Bank Dunia telah mengumumkan peningkatan pendanaan untuk proyek terkait perubahan iklim sebesar US$ 9 miliar per tahun.
- Dana loss and damage atau kompensasi terhadap kerusakan akibat perubahan iklim mencapai US$ 726 juta yang dijanjikan oleh sejumlah negara.
- Green Climate Fund senilai US$ 3,5 miliar
- Dana kesehatan untuk mengatasi penyakit akibat perubahan iklim sebesar US$ 2,7 miliar
- Dana adaptasi disiapkan sebesar US$ 133,6 juta.
- Dana untuk Negara Kurang Berkembang (LDC) sebesar US$129,3 juta.
- Dana Perubahan Iklim Khusus disiapkan sebesar US$ 31 juta
- Bank Pembangunan Multilateral (MDB) mengumumkan peningkatan kumulatif lebih dari $22,6 miliar untuk aksi iklim.
Dampak Krisis Iklim di Indonesia
Dampak krisis iklim sudah sangat nyata dirasakan masyarakat Indonesia.Sebelumnya, 19 organisasi masyarakat sipil mengeluarkan pernyataan mengenai dampak perubahan iklim di Indonesia pada Sabtu (2/12).
Dampak tersebut di antaranya meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana banjir, topan, badai, gelombang tinggi, kekeringan, dan cuaca ekstrim lainnya. Selain itu, perubahan iklim juga menyebabkan memburuknya kebakaran hutan dan lahan yang telah melalap 1 juta ha lahan di 2023, gagal panen, menyebarnya penyakit dan pandemi baru, kerusakan terumbu karang dan ekosistem laut, hingga hilangnya pulau-pulau dan daerah di Indonesia.
"Sebagai negara kepulauan di wilayah tropis, kerentanan Indonesia terhadap dampak krisis iklim adalah yang ke-3 tertinggi di dunia. Jika krisis iklim memburuk, perekonomian (GDP) Indonesia diperkirakan akan tergerus hingga 7% pada 2100," tulis pernyataan tersebut.
Untuk menghindarkan bahaya krisis iklim, dunia membutuhkan aksi iklim segera. Oleh karenanya, dalam momen COP28 ini, masyarakat sipil Indonesia dalam keterangan resmi, Sabtu (2/12) menyerukan kepada pemerintah Indonesia dan dunia untuk mengeluarkan komitmen politik dan mandat yang tegas untuk meningkatkan aksi iklim secara berkeadilan.
Adapun 19 organisasi tersebut adalah:
- Yayasan Auriga Nusantara
- Perkumpulan HuMa
- Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial
- Yayasan MADANI Berkelanjutan
- Perkumpulan Mandala Katalika Indonesia (Manka)
- Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (PIKUL)
- Institute for Essential Services Reform (IESR)
- Yayasan EcoNusa
- Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan
- Yayasan Intsia di Tanah Papua
- Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK INDONESIA)
- Publish What You Pay (PWYP)
- Indonesia Forest Watch Indonesia (FWI)
- Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
- Working Group ICCAs Indonesia
- Trend Asia
- WALHI Nasional
- Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
- Koaksi Indonesia
COP28 berlangsung di Expo City Dubai, Uni Emirat Arab, dari 30 November hingga 12 Desember 2023. Konferensi ini dihadiri lebih dari 70.000 peserta, termasuk kepala negara, pejabat pemerintah, pemimpin industri internasional, sektor swasta perwakilan, akademisi, pakar, pemuda, dan aktor non-negara.
UEA memimpin proses agar semua pihak menyepakati peta jalan yang jelas, mempercepat kemajuan melalui transisi energi global yang pragmatis dan “tidak meninggalkan siapa pun di belakang” untuk aksi iklim inklusif.