Kebijakan Folu Net Sink Berpotensi Jadi Boomerang dalam Krisis Iklim

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc.
Petugas dari Manggala Agni Daops OKI dan Daops Lahat melakukan pemadaman kebakaran lahan gambut di Desa Jungkal, Kecamatan Pampangan, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, Selasa (7/11/2023). Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Sumatera menerjunkan 60 orang petugas Manggala Agni dari Daops OKI, Banyuasin, Lahan dan Muba untuk melakukan pemadaman kebakaran lahan gambut di wilayah tersebut yang terbakar sejak 30 Agustus 2023.
8/12/2023, 21.45 WIB

Greenpeace Indonesia menilai kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mencapai Forest and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 berpotensi menciptakan boomerang dalam menghadapi krisis iklim di Indonesia. 

 Sapta mengatakan boomerang tersebut bisa terjadi karena dalam program Folu Net Sink tersebut ternyata dapat menciptakan lahan gambut yang menyebabkan adanya Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla).

 “Artinya ini menyelesaikan masalah dengan masalah. Jadi menurut saya Folu Net Sink itu hanya solusi palsu,” ujar Sapta dalam acara Greenpeace bertajuk Basa-Basi Komitmen Iklim Pemerintah Lewat Folu Net Sink 2030, di Jakarta, Jumat (8/12). 

 Menurut dia pemerintah perlu mengkaji ulang program Folu Net Sink tersebut. Jika program tersebut terus dijalankan, maka jumlah Karhutla di Indonesia akan terus bertambah.

 “Jadi kalau kita menanam hutan baru itu sebenarnya malah akan menyerap emisi lebih banyak lagi,” kata dia. 

 Selain itu, Sapta meminta pemerintah untuk melakukan sejumlah upaya lainnya agar kerusakan iklim dan lingkungan di Indonesia bisa berkurang. Salah satunya memberhentikan pemberian izin konsesi terutama di hutan alam dan di lahan gambut. 

 Dia melihat pemerintah hingga saat ini belum melakukan upaya besar untuk menyelamatkan hutan alam di tanah air yang masih tersisa, “Maka dari itu sekitar 30 juta hektar hutan alam kita yang masih berpotensi untuk terdeforestasi,” ujarnya. 

 Sebagai informasi, Folu Net Sink 2030 adalah sebuah kondisi yang ingin dicapai melalui aksi mitigasi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan dan lahan. Pada kondisi tersebut, tingkat serapan sudah lebih tinggi dari tingkat emisi pada 2030.

 Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 diamanatkan di dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. 

 Pada Pasal 3 Ayat (4) disebutkan bahwa pengurangan emisi GRK utamanya didukung oleh sektor kehutanan sebagai penyimpan karbon dengan pendekatan carbon net sink (penyerapan karbon bersih yang merujuk pada jumlah penyerapan emisi karbon yang jauh lebih banyak dari yang dilepaskannya). 

 Program ini menggunakan empat strategi utama, yaitu menghindari deforestasi; konservasi dan pengelolaan hutan lestari; perlindungan dan restorasi lahan gambut; serta peningkatan serapan karbon.

 Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya mengatakan bahwa komitmen Indonesia melalui Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 mendorong tercapainya tingkat emisi GRK sebesar -140 juta ton CO2e pada tahun 2030 dan dilaksanakan melalui pendekatan yang terstruktur dan sistematis. 

 Ia juga mengakui bahwa sektor FOLU memiliki peran besar dalam upaya pencapaian target nol emisi bersih atau Net Zero Emission (NZE) nasional pada 2060, dari net emitor menjadi penyerap bersih GRK.

 “FOLU Net Sink 2030 mencerminkan pengakuan kami terhadap peran ekosistem, air tawar, tanah dan tanah yang sehat dalam memastikan sistem pangan yang berkelanjutan serta keamanan dan keamanan pangan global,” ujarnya melalui keterangan resmi, Senin (3/10/2022).

 Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 168 Tahun 2022, terdapat 5 bidang dalam susunan tim FOLU Net Sink 2030 di antaranya: Bidang I Pengelolaan Hutan Lestari; Bidang II Peningkatan Cadangan Karbon; Bidang III Konservasi; Bidang IV Pengelolaan Ekosistem Gambut; dan Bidang V Instrumen dan Informasi. 

Reporter: Nadya Zahira