Sejumlah negara berselisih mengenai kemungkinan kesepakatan untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil pada pertemuan puncak COP28 di Dubai, Sabtu (9/12), setelah OPEC menolak mentah-mentah usulan tersebut. Perselisihan ini mengancam upaya untuk memberikan komitmen pertama untuk mengakhiri penggunaan minyak dan gas dalam 30 tahun pembicaraan mengenai pemanasan global.
Arab Saudi dan Rusia termasuk di antara beberapa negara yang bersikeras agar konferensi di Dubai hanya berfokus pada pengurangan emisi karbon dan tidak menargetkan bahan bakar fosil yang menyebabkan polusi iklim. Di sisi lain, setidaknya 80 negara termasuk Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan banyak negara miskin yang rentan terhadap iklim menuntut agar kesepakatan COP28 menyerukan dengan jelas agar penggunaan bahan bakar fosil segera diakhiri.
Presiden COP28 Sultan Al-Jaber mengatakan kepada negara-negara untuk mempercepat pekerjaan mereka untuk menemukan kesepakatan akhir, dengan mengatakan bahwa "masih ada lebih banyak perbedaan daripada kesepakatan".
"Jendela untuk menutup kesenjangan yang ada sudah semakin dekat," ujar Al-Jaber pada pertemuan tersebut, Sabtu (9/12) malam, seperti dikutip Reuters.
Sekretaris Jenderal OPEC Haitham Al Ghais sebelumnya mengatakan bahwa COP28 harus melakukan pendekatan yang realistis dalam mengatasi emisi. "Pendekatan yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi, membantu memberantas kemiskinan, dan meningkatkan ketahanan pada saat yang bersamaan," ujarnya.
Awal pekan ini, OPEC mengirim surat yang mendesak para anggotanya dan para sekutunya untuk menolak penyebutan bahan bakar fosil dalam kesepakatan KTT final. OPEC memperingatkan bahwa tekanan yang tidak semestinya dan tidak proporsional terhadap bahan bakar fosil dapat mencapai titik kritis.
"Ini adalah pertama kalinya Sekretariat OPEC mengintervensi pembicaraan iklim PBB dengan surat seperti itu," kata Alden Meyer dari lembaga pemikir perubahan iklim E3G. "Ini mengindikasikan adanya kepanikan."
Komisioner iklim Uni Eropa, Wopke Hoekstra, mengkritik surat tersebut sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan upaya-upaya iklim. "Oleh banyak orang, termasuk saya, hal itu dianggap tidak masuk akal, tidak membantu, dan tidak selaras dengan posisi dunia dalam hal situasi iklim kita yang sangat dramatis," ujar Hoekstra.
Arab Saudi adalah produsen minyak terbesar di OPEC dan pemimpin de facto organisasi tersebut, sementara Rusia adalah anggota kelompok OPEC+.
Dengan bersikeras berfokus pada emisi daripada bahan bakar fosil, kedua negara ini tampaknya bersandar pada janji teknologi penangkapan karbon yang mahal. Padahal, menurut panel ilmu iklim PBB, teknologi penangkapan karbon tidak dapat menggantikan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil di seluruh dunia.
Negosiasi Paling Sulit dalam Sejarah COP
Negara-negara lain termasuk India dan Cina tidak secara eksplisit mendukung penghapusan bahan bakar fosil di COP28, tetapi mendukung seruan populer untuk meningkatkan energi terbarukan.
Utusan iklim Tiongkok Xie Zhenhue menggambarkan pertemuan iklim tahun ini sebagai yang tersulit dalam karirnya.
"Saya telah berpartisipasi dalam negosiasi iklim ini selama 16 tahun. Pertemuan yang paling sulit adalah pertemuan tahun ini. Ada begitu banyak isu yang harus diselesaikan," kata Xie.
Ia mengatakan bahwa kecil kemungkinan pertemuan ini akan berhasil jika negara-negara tidak dapat menyepakati bahasa mengenai masa depan bahan bakar fosil.
Menteri Lingkungan Hidup India Bhupender Yadav menuntut "kesetaraan dan keadilan" dalam setiap kesepakatan, dan menyatakan bahwa negara-negara kaya harus memimpin aksi iklim global.
Keluhan-keluhan diplomatik yang lebih luas juga disampaikan di podium yang mengaburkan fokus pada pemanasan global.
Seorang perwakilan Rusia mengatakan dalam sebuah pidato bahwa Moskow sedang mencari tahu apakah sekitar $300 miliar cadangan emas yang dibekukan oleh Barat setelah Rusia menginvasi Ukraina dapat digunakan untuk dana kerusakan iklim bagi negara-negara berkembang.
Sementara itu, Cina mengeluhkan apa yang dikatakannya sebagai pembicaraan yang tidak dapat diterima mengenai partisipasi Taiwan dalam pembicaraan tersebut. Seorang perwakilan Palestina mengecam perang Israel di Gaza, dengan mengatakan bahwa konflik tersebut menyulitkan fokus pada upaya-upaya perubahan iklim.
Memasuki Tahap Kritis
Dengan jadwal pertemuan yang akan berakhir pada Selasa mendatang, para menteri dari hampir 200 negara yang hadir di KTT Dubai telah bergabung untuk mencoba menyelesaikan kebuntuan bahan bakar fosil.
Negara-negara yang rentan terhadap iklim mengatakan bahwa penolakan terhadap penyebutan bahan bakar fosil di COP28 akan mengancam seluruh dunia.
"Tidak ada yang menempatkan kemakmuran dan masa depan semua orang di bumi, termasuk semua warga negara OPEC, pada risiko yang lebih besar daripada bahan bakar fosil," kata utusan iklim Kepulauan Marshall Tina Stege, dalam sebuah pernyataan.
Kepulauan Marshall, yang menghadapi banjir akibat kenaikan permukaan air laut yang disebabkan oleh iklim, saat ini mengetuai kelompok negara High Ambition Coalition yang mendorong target dan kebijakan pengurangan emisi yang lebih kuat.
Untuk mencapai tujuan global untuk menahan pemanasan iklim di kisaran 1,5 derajat Celsius di atas suhu pra-industri, koalisi ini mendorong penghentian penggunaan bahan bakar fosil, yang merupakan akar dari krisis ini. "1,5C tidak dapat dinegosiasikan, dan itu berarti penghentian bahan bakar fosil," kata Stege.
Versi terbaru dari teks negosiasi, yang dirilis pada hari Jumat, menunjukkan bahwa negara-negara masih mempertimbangkan berbagai pilihan - mulai dari menyetujui "penghentian bahan bakar fosil sesuai dengan ilmu pengetahuan terbaik yang ada", hingga penghentian "bahan bakar fosil yang tidak berkelanjutan", hingga tidak ada pilihan sama sekali.
Utusan iklim Jerman, Jennifer Morgan, mengatakan bahwa berbagai negara sedang memasuki tahap negosiasi yang kritis. "Sudah saatnya semua negara mengingat apa yang dipertaruhkan. Saya prihatin, tidak semua terlibat secara konstruktif," ujarnya.