Investor infrastruktur diprediksi akan kehilangan sekitar US$ 600 miliar atau sekitar Rp 9,3 triliun jika negara-negara tidak merencanakan peralihan ke perekonomian yang lebih ramah lingkungan pada pertengahan abad ini. Para peneliti menggambarkan skenario terburuk ini ketika pemerintah terlambat atau mendadak mengenakan pajak karbon.
Tindakan mendadak tersebut akan mendorong guncangan harga yang memicu inflasi dan menyebabkan kenaikan suku bunga, sehingga berdampak pada nilai aset bersih investasi.
Penelitian yang dilakukan oleh EDHEC Infrastructure & Private Asset Research Institute menyatakan portofolio infrastruktur bisa kehilangan setengah nilainya.
“Risikonya lebih besar daripada yang diperkirakan orang,” kata salah satu peneliti, Frederic Blanc-Brude, dikutip dari Reuters, Rabu (13/12).
“Mereka akan menjadi material lebih cepat, dan lebih banyak dari yang diperkirakan, dan orang-orang perlu sadar,” ujarnya.
Sebaliknya ketika sistem berubah secara bertahap untuk mengendalikan emisi, biaya akan diserap sebagai bagian dari operasi bisnis normal.
Kedua skenario tersebut dinilai pada 9.000 aset infrastruktur – termasuk bandara, jalan tol, pembangkit listrik, pelabuhan laut dan jaringan pipa – namun tidak mencakup potensi biaya hukum, pasar dan teknologi, sehingga bersifat konservatif, kata Blanc-Brude.
Perusahaan Energi dan Air Paling Terguncang
Tanpa transisi yang teratur, guncangan “transisi” terbesar akan dirasakan oleh investor di perusahaan energi dan air. Sektor tersebut menghadapi risiko kerugian sebesar 38% atau sekitar US$ 86 miliar, menurut penelitian tersebut.
Utilitas jaringan bisa kehilangan 33% persen nilainya, atau US$ 104 miliar. Infrastruktur data mencapai 32%, atau US$ 61 miliar.
Studi ini juga mengkaji risiko fisik akibat dampak iklim. Kerusakan infrastruktur terjadi akibat kebakaran, banjir, atau angin topan.
Tanpa tindakan pemerintah untuk mengurangi emisi dan mengendalikan perubahan iklim, studi ini menemukan bahwa nilai bersih aset secara keseluruhan akan turun sekitar US$ 140 miliar pada 2050 dan akan berdampak pada setiap sektor, meskipun tidak merata.
Investor menghadapi risiko hilangnya nilai aset bersih sebesar 25% pada infrastruktur Amerika Utara, dan 16% pada aset Eropa dan Asia.