Para pecinta kopi harus siap-siap membayar lebih mahal untuk minuman favoritnya di masa depan. Harga komoditas itu bakal semakin mahal karena perubahan iklim yang mengeringkan wilayah-wilayah utama penghasil kopi di dunia.
Cuaca yang semakin tidak menentu membuat tanaman pangan di seluruh dunia terancam. Varietas yang lebih tahan banting diperkirakan akan lebih baik. Untuk kopi, ini berarti robusta yang kuat dan bersahaja. Namun, para petani kopi di Vietnam mendapatkan peringatan dari alam mengenai seberapa parah dampak perubahan iklim ini.
"Kami harus menggali lebih dalam untuk mendapatkan air," kata Tran Thi Lien, petani yang memiliki perkebunan seluas satu hektare di Provinsi Dak Lak, Dataran Tinggi Tengah Vietnam, seperti ditulis Bloomberg, Selasa (19/12). Dalam beberapa tahun terakhir, Lien menyebut para petani tidak memiliki cukup air untuk irigasi. "Beberapa tahun lainnya, terlalu banyak hujan," ujarnya.
Kondisi pertumbuhan yang lebih sulit telah membuat para petani Vietnam mempertanyakan nilai kopi sebagai tanaman komersial. Beberapa petani mengganti pohon-pohon kopi dengan tanaman lada hitam dan durian, komoditas yang populer di seluruh Asia Tenggara dan di kalangan konsumen Cina.
Berkurangnya pasokan telah mendorong harga kopi robusta tahun ini ke level tertinggi sejak setidaknya tahun 2008. Namun, kenaikan suhu berarti produksi kopi di masa depan akan menurun.
Kopi adalah industri bernilai sekitar US$200 miliar yang membentang dari perkebunan kecil di Brasil maupun Indonesia hingga ke pemanggang kopi dan pembuat produk akhir, seperti Nestle SA. Secara tradisional, penjual seperti jaringan Starbucks Corp. lebih menyukai jenis arabika yang lebih ringan dan beraroma harum, sedangkan robusta digunakan untuk kopi instan.
Namun, konsumen harus membiasakan diri dengan rasa yang berbeda. Sebuah studi tahun 2022 tentang tanaman komersial tropis yang mencakup arabika, serta alpukat dan jambu mete, menemukan bahwa biji kopi paling rentan terhadap perubahan iklim.
Wilayah Produksi Kopi Menyusut
Wilayah yang cocok untuk produksi kopi menyusut secara global terutama karena peningkatan panas. Para peneliti menemukan bahwa perlu dilakukan adaptasi, termasuk dengan mengganti arabika dengan robusta yang lebih keras.
Nestle, produsen Nespresso dan Nescafe asal Swiss, adalah salah satu perusahaan yang bergulat dengan perubahan ini. "Diperkirakan 30 tahun dari sekarang, pada dasarnya 50% dari lahan kopi yang kita kenal saat ini tidak akan dapat digunakan untuk produksi kopi lagi jika perubahan iklim tidak diatasi," ujar Philipp Navratil, Kepala Global Unit Bisnis Strategis Kopi Nestle.
Nestle adalah konsumen utama robusta. Di seluruh dunia, konsumen meminum lebih dari 6.000 cangkir Nescafe setiap detiknya. Nestle menghabiskan US$700 juta setiap tahunnya untuk membeli sekitar seperempat produksi kopi Vietnam.
Tahun lalu, perusahaan ini menyatakan akan menginvestasikan lebih dari satu miliar franc Swiss (US$1,2 miliar) pada tahun 2030 untuk mendorong para petani yang memasok merek Nescafe menggunakan metode pertanian yang lebih berkelanjutan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Hal ini termasuk mengganti pohon-pohon yang ada dengan varietas yang dapat mengatasi perubahan iklim dengan lebih baik.
Namun, biji kopi yang paling tangguh pun akan diuji, seiring dengan meningkatnya suhu. "Robusta bukanlah solusi untuk perubahan iklim," kata Jennifer Vern Long, Kepala Eksekutif World Coffee Research, sebuah organisasi yang dibentuk oleh industri kopi global pada tahun 2012 untuk mendorong inovasi. Robusta lebih toleran terhadap panas dan beberapa penyakit serta hama, tetapi World Coffee Research juga masih mempelajari batas-batas robusta.
Dalam sebuah laporan pada Oktober lalu, World Coffee Research mengatakan bahwa dunia mungkin akan menghadapi kekurangan robusta pada tahun 2040 sebanyak 35 juta kantong. Prediksi ini mempertimbangkan tren konsumsi yang meningkat dan dampak perubahan iklim terhadap produksi. Dunia saat ini memproduksi hampir 80 juta kantong robusta per tahun.
Pola Cuaca Menyebabkan Hasil Panen Lebih Rendah
Long mengatakan bahwa perubahan pola cuaca dapat menyebabkan hasil panen yang lebih rendah secara dramatis. Jutaan petani kecil yang memproduksi 60% kopi dunia rentan terhadap kerawanan ekonomi dan pangan. Industri kopi Vietnam terdiri atas petani tambal sulam yang mengelola lahan seluas satu hingga dua hektare.
Musim kemarau yang berkepanjangan di Vietnam dan kurangnya air irigasi dalam beberapa tahun terakhir telah sangat memengaruhi produktivitas perkebunan kopi robusta di Dataran Tinggi Tengah. Hal ini terungkap dari studi yang diterbitkan pada tahun 2021 oleh penulis dari berbagai organisasi, termasuk Universitas Nasional Vietnam. Negara ini juga bersiap menghadapi dampak El Nino dalam beberapa bulan mendatang.
Di bawah tekanan panas dan kekurangan air, Lien melihat manfaat dari praktik pertanian yang lebih berkelanjutan, termasuk yang didukung oleh Nestle. Ia dan tetangganya telah mengurangi penggunaan pupuk kimia dan memberikan naungan untuk tanaman kopi sehingga tidak terlalu terpapar terik matahari. Ia juga menanam lada hitam dan pinang untuk diversifikasi.
"Dengan menerapkan hal ini, kami memiliki lebih banyak pendapatan, dan kami dapat menghemat banyak tenaga kerja," kata Lien, yang mulai menanam kopi hampir tiga puluh tahun yang lalu. "Sekarang saya melihat kopi saya berkembang lebih baik, dengan hasil panen yang lebih baik."