Indonesia Penyumbang Emisi Gas Rumah Kaca Terbesar ke-8 di Dunia

123RF.com/Dilok Klaisataporn
Indonesia setiap tahun menyumbang gas rumah kaca sebesar 1,3 Gigaton CO2e.
Penulis: Rena Laila Wuri
10/1/2024, 19.27 WIB

Direktur Eksekutif Traction Energy Asia Tommy Pratama mengatakan Indonesia setiap tahun menyumbang gas rumah kaca sebesar 1,3 Gigaton CO2e. Indonesia berada di urutan kedelapan dunia dalam emisi gas rumah kaca, khususnya karbondioksida (CO2). 

“Tahun 1980 hingga 2020 ini bisa dilihat ada tren kenaikan emisi gas rumah kaca yang cukup tajam. Kita menyumbang 1,3 GT CO2e setiap tahunnya,” kata Tommy dalam diskusi media “Meneropong Bioenergi di Tangan Calon Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029" yang berlangsung secara daring, Rabu (10/1).

Tommy mengatakan peningkatan emisi gas rumah kaca dalam hal ini CO2 bisa dihasilkan dari subsektor energi kelistrikan, pertanian, dan transportasi. Berdasarkan kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas pada 2022, sektor energi merupakan penyumbang emisi terbesar di Indonesia.

Sektor energi dan transportasi mendominasi emisi dengan persentase sebesar 50,6% atau sebesar 1 Gt CO2e dari total emisi di Indonesia pada 2022. Untuk itu, Tommy mengatakan transisi dari energi kotor ke energi rendah karbon merupakan suatu keharusan dan perlu dilakukan dalam waktu dekat.

Pasalnya, kondisi bumi saat ini semakin parah dengan adanya krisis iklim. "Kita harus segera beralih. Dalam melakukan peralihan tersebut kita bisa mengembangkan potensi dalam negeri, dari potensi sumber daya alam sendiri," kata Tommy.

Tommy menuturkan komitmen Indonesia dan negara-negara lain untuk beralih ke energi bersih belum cukup kuat. Misalnya, pada kesepakatan di COP-28, peralihan ke energi bersih belum menjadi kewajiban masing-masing negara untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.

"Negara-negara di COP melaporkan pengurangan emisi, tapi sifatnya tidak mandatory dan hanya bersifat sukarela. Padahal, upaya mengurangi emisi sangat penting karena mengingat krisis iklim mengancam eksistensi manusia dan negara," ujarnya.

Dampak dari krisis iklim, kata Tommy sudah terlihat sangat jelas. Ia mencontohkan suhu di 2023 menjadi suhu terpanas sepanjang sejarah dan telah mencapai kenaikan 1,5 derajat celsius atau ambang batas dari target Perjanjian Paris. "Hampir bisa dipastikan pada 2024 kenaikan suhu ini akan melewati 1,5 derajat Celsius," ujar Tommy.

Tommy juga menyebut pergeseran musim hujan di Indonesia selama tiga bulan serta kegagalan panen disebabkan cuaca ekstrem di berbagai wilayah. Hal itu merupakan bukti krisis iklim sudah ada di depan mata dan perlu penanganan serius.

“Krisis iklim yang kita alami sekarang ini merupakan krisis pangan artinya ancaman terhadap atau ada potensi yang sangat besar untuk kegagalan panen, cuaca ekstrem atau panas terik atau hujan angin kencang dan banjir bandang yang sudah kita alami dalam beberapa waktu terakhir ini,” ujarnya.

Reporter: Rena Laila Wuri