Pemanasan Global Diprediksi Lewati Ambang Batas 1.5°C pada 2024

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/hp.
Seorang anak bermain layang-layang di lahan sawah yang mengalami kekeringan di Mauk, Kabupaten Tangerang, Banten, Sabtu (29/10/2023).
12/1/2024, 16.19 WIB

Beberapa ilmuwan, termasuk mantan ahli iklim NASA James Hansen memprediksi ambang batas pemanasan global 1,5 derajat Celcius akan ditembus untuk pertama kalinya dalam sejarah pada 2024. Kondisi tersebut akan menimbulkan permasalahan lingkungan hingga memicu risiko terhadap tubuh manusia.

Dikutip dari PHYS, suhu udara melewati 1,5 derajat celsius melenceng dari target Perjanjian Paris 2015. Perjanjian itu menyatakan bahwa kenaikan suhu bumi tidak boleh melewati 1,5 derajat celsius dari  periode pra-industri (1850-1900) hingga 2030. 

Namun, beberapa ilmuwan memprediksi suhu rata-rata global kemungkinan akan turun lagi setelah El Nino menghilang. El Nino adalah fase hangat dalam siklus alami di Samudra Pasifik hingga khatulistiwa.

Berbahaya bagi Manusia

Penelitian ilmuwan iklim, Tom Matthews dari Loughborough University, dan Colin Raymond dari California Institute of Technology menunjukkan kenaikan suhu di atas 1,5°C berisiko memicu gelombang panas yang begitu kuat dan berdampak pada kehidupan manusia. Mereka mengatakan, temperatur dan kelembaban tinggi bisa menyebabkan risiko kesehatan besar.

Matthews dan Raymond mengatakan, panas ekstrem dengan kelembaban tinggi akan menciptakan wet bulb temperature 35°C. Wet bulb temperature adalah suhu yang diukur dengan menggunakan termometer yang bagian bulb atau bola bawahnya dilapisi dengan kain yang telah basah.

Pengukuran ini dapat memperkirakan pengaruh suhu, kelembaban relatif, kecepatan angin, dan radiasi matahari pada manusia. Matthews dan Raymond menuturkan, manusia tidak memiliki kemampuan untuk melewati wet bulb 35°C.

“Ini adalah titik di mana udara terlalu panas dan lembab untuk berkeringat. Di kondisi seperti itu, tubuh manusia tidak mampu lagi mendinginkan diri lagi lewat keringat,” kata Matthews dan Raymond.

Sementara itu, menurut studi pada 2010 menyimpulkan wet-bulb temperature di suhu 35°C itu setara dengan suhu 35°C di kelembaban 100 persen atau suhu 46,11 °C di kelembaban 50 persen. Ini merupakan kondisi yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

"Studi pemodelan telah menunjukkan bahwa jika suhu wet bulb melampaui 35°C atau pemanasan global melewati 2°C, maka Teluk Persia, Asia Selatan, dan Dataran Cina Utara akan merasakan panas dan kelembaban yang bisa mematikan," kata mereka.

Tetapi, Matthews dan Raymond mengatakan beberapa negara di bumi mengalami peningkatan suhu panas yang berbeda-beda. Namun, rata-rata kenaikan suhunya 1,5°C.

Untuk menjelaskan hal ini, Matthews dan Raymond mempelajari catatan dari stasiun cuaca individu di seluruh dunia. Mereka menemukan saat ini banyak negara sedang berupaya untuk menekan kenaikan suhu.

"Frekuensi wet bulb (di atas 31°C) telah meningkat lebih dari dua kali lipat di seluruh dunia sejak 1979, dan di beberapa tempat terpanas dan paling lembab di Bumi, seperti pantai Uni Emirat Arab, wet bulb telah melewati 35°C," kata mereka.

Ancam Kepunahan Spesies

Sedangkan ilmuwan iklim dan atmosfer Chris Smith di Universitas Leeds dan Robin Lamboll di Imperial College London mengatakan kenaikan suhu melebihi 1,5°C akan menjadi awal kepunahan spesies, badai bencana, serta runtuhnya lapisan es.

Smith dan Lamboll mengatakan kita harus secepat mungkin untuk menekan emisi gas rumah kaca agar bumi tidak semakin panas.

“Secepatnya menghapus batu bara, minyak dan gas, yang menyumbang 80% dari penggunaan energi di seluruh dunia,” kata mereka.

Namun, Smith dan Lamboll mengatakan kita hanya memiliki kesempatan 50:50 untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C. 

 “Kita hanya dapat memancarkan 250 gigaton (miliar metrik ton) CO2 lagi. Ini secara efektif memberi dunia hanya enam tahun untuk mencapai nol bersih,” kata Smith dan Lamboll.

Reporter: Rena Laila Wuri