Laporan Coal Havens mengkaji kebijakan batu bara dari 30 bank terbesar di Filipina, India, Indonesia, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, Taiwan, dan Thailand dengan total aset yang dikelola mencapai lebih dari US$ 8 triliun. Bank-bank terbesar di Asia terbukti tidak memiliki atau memiliki kebijakan pengecualian batu bara yang lemah.
Sementara itu laporan BankTrack menemukan bahwa pembiayaan korporat menjadi pilihan yang digunakan membangun infrastruktur batu bara baru. Laporan ini menunjukan bahwa masih ada celah dalam kebijakan pengecualian batu bara.
Hal ini memberi ruang pada industri perbankan untuk terus membiayai proyek batu bara baru. Padahal, negara-negara di dunia sudah sepakat untuk beralih dari energi fosil yang diluncurkan pada KTT Perubahan Iklim COP 28 pada Desember 2023.
Juru Kampanye Iklim BankTrack, Will O’ Sullivan, mengatakan bahwa industri batu bara yang semakin menyusut masih mendapatkan pembiayaan dari bank-bank terbesar di kawasan Asia.
“Pemodal di Indonesia dan bank multilateral seperti Bank Dunia dan IFC masih membuka pintu untuk kerusakan iklim, ketika mereka seharusnya menjauhkan diri dari batu bara.” kata Will dalam keterangan tertulis, Rabu (24/1).
Salah satu celah kebijakan yang terlihat dalam kebijakan keberlanjutan lembaga pinjaman sektor swasta Bank Dunia, IFC, adalah PLTU batu bara captive. IFC telah mengadopsi “Green Equity Approach” (GEA), sebuah pendekatan yang digunakan ketika bekerja dengan klien perantara keuangan.
IFC menggunakan GEA untuk membeli saham ekuitas dan mendorong klien untuk mengurangi eksposur pada proyek batu bara hingga mendekati nol pada tahun 2030. Walau Begitu, kebijakan ini tidak memasukan PLTU batu bara captive yang digunakan untuk industri seperti pertambangan, industri kimia, semen, smelter, dll.
Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH, Agung Budiono, mengatakan otoritas jasa keuangan (OJK) di Indonesia saat ini sedang dalam tahap finalisasi penyusunan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan atau dikenal sebagai taksonomi hijau. Namun sayangnya dalam draf terakhir, PLTU captive masih masuk menjadi sektor dalam kategori transisi.
“OJK perlu memiliki pandangan yang lebih maju atas pembiayaan berkelanjutan, untuk itu seharusnya PLTU Captive tidak perlu masuk dalam kategorisasi meskipun tidak lagi hijau melainkan transisi,” katanya.
Agung mengatakan, semakin ketatnya pembiayaan PLTU batu bara dari luar ternyata masih dipersepsikan sebagai peluang bagi perbankan nasional dalam membiayai sektor batu bara. Padahal seharusnya perbankan nasional harus bisa melihat pembiayaan energi fosil ini khususnya PLTU sebagai sesuatu resiko di masa mendatang, yang biasa dikenal sebagai stranded asset.
Indonesia merupakan salah satu negara yang sudah meluncurkan kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP), tidak memasukan data emisi dari PLTU batu bara captive di dalam Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) 2023.
Jika disertakan, data tersebut akan secara signifikan meningkatkan proyeksi emisi Indonesia, yang akan membuat pencapaian target awal dekarbonisasi JETP menjadi sulit.
Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang mempertimbangkan untuk memberikan label transisi pada PLTU batu bara captive dalam Taksonomi Berkelanjutan Indonesia jika digunakan untuk menghasilkan bahan yang dianggap penting untuk transisi energi.