Tambang nikel telah mengakibatkan deforestasi hutan yang tak terkendali. Setidaknya 161 ribu hektare hutan rusak akibat penambangan nikel untuk hilirisasi.
Hal itu terungkap dalam kajian Forum Studi Halmahera atau Foshal Maluku Utara, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara, Trend Asia, dan YLBHI.
Data analisis spasial Global Forest Watch menunjukkan sejak 2001 hingga 2022, Halmahera Tengah kehilangan sudah 26.1 ribu hektar tutupan pohon. Angka tersebut setara dengan penurunan 12 persen tutupan pohon sejak 2000, dan setara dengan 20.9 Megaton (Mt) emisi ekuivalen karbon dioksida (CO2e).
Sementara untuk di Halmahera Timur, telah kehilangan 56.3 ribu hektar tutupan pohon sejak 2001 hingga 2022. Angka tersebut setara dengan penurunan 8.9 persen tutupan pohon sejak 2000, dan setara dengan 44.5 Megaton (Mt) emisi ekuivalen karbon dioksida (CO2e).
Begiu pula di Halmahera Selatan sudah kehilangan 79.0 ribu hektar tutupan pohon sejak 2001 hingga 2022. Angka tersebut setara dengan penurunan 9.9 persen tutupan pohon sejak tahun 2000, dan setara dengan 62.9 Megaton (Mt) emisi ekuivalen karbon dioksida (CO2e).
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Foshal Maluku Utara, Julfikar Sangaji, mengatakan hilirisasi nikel secara langsung mengakibatkan deforestasi hutan yang tak terkendali dilakukan oleh perusahaan penambangan bijih nikel. Pasalnya, penambangan bijih nikel didahului dengan aktivitas land clearing atau pembersihan area.
"Karena itu sangat mustahil apabila tidak terjadi kehilangan tutupan hutan. Terutama pada tiga lokasi yang kini terkepung Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel," ujar Julfikar dalam siaran pers, dikutip Selasa (30/1).
Misalnya saja di Halmahera Timur terdapat 19 IUP dengan total luas konsesinya sebesar 101.047,21 hektar, sedangkan di Halmahera Tengah ada 13 izin dengan luas total konsesi 10.390 hektar.
Sementara di Halmahera Selatan ada 15 izin dengan total luas konsesi sebesar 32.236 hektar. Untuk IUP nikel yang mencaplok dua kawasan administratif sekaligus yakni wilayah Halmahera Timur dan Halmahera Tengah sebanyak 4 izin dengan luas total konsesi sebesar 70.287 hektar.
Dengan demikian 203.597 hektare hutan di Halmahera berpotensi rusak akibat penambangan tersebut. Kehilangan tutupan hutan, dominan terjadi pada wilayah operasional penambangan bijih nikel.
Katadata.co.id telah menghubungi Harita Nickel dan Antam untuk meminta tanggapan tersebut. Namun, hingga saat ini belum ada respons dari yang bersangkutan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang paling banyak kehilangan hutan primer tropis (humid tropical primary forest) dalam dua dekade terakhir. Hal ini tercatat dalam laporan Global Forest Review dari World Resources Institute (WRI).
WRI mendefinisikan hutan primer tropis sebagai hutan berusia tua yang memiliki cadangan karbon besar dan kaya akan keragaman hayati.