World Resouces Institute (WRI) Indonesia menyatakan kebijakan pemerintah terkait dekarbonisasi perusahaan masih belum terlalu jelas. Hal itu salah satunya tercermin dari belum adanya standar terkait pelaporan emisi yang dikeluarkan perusahaan di Indonesia.
Sustainable Business and Net Zero Analyst WRI Indonesia, Nada Zuhaira, mengatakan saat ini laporan keuangan berkelanjutan di Indonesia sudah di atur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51/2017. Peraturan tersebut mengatur penerapan keuangan berkelanjutan bagi lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik.
“Ketentuan itu mengatur semua perusahaan publik dan bank wajib memulai untuk membuat ESG report,” kata Nada dalam Media Coaching Workshop “Optimalisasi Komitmen Reduksi Emisi Karbon di Indonesia: Tantangan dan Peluang” di Sampoerna Strategic Square, Jakarta, Senin (26/2).
Nada mengatakan, implementasi dari peraturan tersebut masih belum optimal. Dimana, perusahaan di Indonesia wajib melaprokan emisi yang dikeluarkan, tetapi pemerintah tidak menerapkan standar terharap laporan tersebut.
“Emisi yang dilaporkan dari Scope 1,2, 3 atau hanya Scope 1, 2 diperbolehkan,” ucapnya.
Nada mengatakan, pemerintah Indonesia juga belum menerapkan sanksi yang kuat untuk perusahaan yang tidak melaporkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang dikeluarkannya. Menurutnya, POJK 51/2017 masih kurang detail dalam mengatur standarisasi dan sanksinya.
WRI mendorong pemerintah terutama Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dapat mengatasi permasalahan ini. Kedepannya, pemerintah diharapkan dapat mengatur format dan standarisasi dalam laporan emisi yang dikeluarkan perusahaan.
Menurut Nada, perusahaan bisa lebih terdorong untuk melakukan dekrabonisasi jika pemerintah sudah menetapkan aturan yang sama dalam laporan emisi GRK. Dengan demikian, strategi penanganan iklim pun bisa lebih optimal.
Nada mengatakan standarisasi atau benchmark penting diterapkan sebagai patokan sektor industri dalam menerapkan Green House Gas (GHG) protokol. GHG protokol merupakan standar akuntasi dan pelaporan emisi GRK yang dikembangkan WRI dan World Business Council for Sustainable Development (WBCSD).
Menurutnya, perusahaan di Indonesia akan sulit memiliki perjanjian dagang dengan negara lain jika tidak ada standarisasi. Mereka akan menyesuaikan format GHG protokol negara tersebut.
Nada mengatakan saat ini banyak sekali model format pelaporan emisi GRK yang ada di Indonesia. Untuk itu, WRI Indonesia mendorong pemerintah menetapkan format pelaporan yang sejalan dengan market yang ada di dunia.
“Format yang nanti akan ditetapkan pemerintah harus sejalan dengan market-market di dunia. Jadi industri lebih efisien dalam pelaporan tersebut,” ujar dia.
Menurut laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total nilai pembiayaan keuangan berkelanjutan di Indonesia sudah mencapai Rp913,15 triliun per November 2020.
Mayoritas pembiayaan tersebut berupa green loan dengan nilai Rp809,75 triliun, kemudian green bond dan gender bond senilai Rp59,9 triliun, diikuti pembiayaan campuran (blended finance) Rp35,6 triliun.
Adapun obligasi keberlanjutan global (global sustainability bond) memiliki nilai terendah dibandingkan instrumen lainnya, yakni Rp7,9 triliun.