Laporan IQAir: Hanya 7 Negara yang Penuhi Standar Kualitas Udara WHO

ANTARA FOTO/Auliya Rahman/Ief/foc.
Pesawat komersial bersiap melakukan penerbangan di tengah polusi asap di Bandara Tjilik Riwut, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Rabu (4/10/2023). Menurut pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) cuaca penerbangan pada saat pagi hari di bandara itu berasap dengan jarak pandang 800 meter.
19/3/2024, 16.45 WIB

Ilmuwan kualitas udara IQAir 2023 melaporkan hanya tujuh negara yang memenuhi pedoman PM2.5 tahunan WHO, yaitu rata-rata tahunan 5 µg/m3 atau kurang. Tujuh negara tersebut adalah Australia, Estonia, Finlandia, Grenada, Islandia, Mauritius, dan Selandia Baru.

CEO Global IQAir, Frank Hammes, mengatakan lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan merupakan hak asasi manusia yang universal. Di banyak belahan dunia, kurangnya data kualitas udara menunda tindakan tegas dan melanggengkan penderitaan manusia yang tidak perlu.

"Data kualitas udara menyelamatkan nyawa. Saat kualitas udara dilaporkan, tindakan diambil, dan kualitas udara meningkat,” katanya.

Stasiun pemantauan kualitas udara independen ini mengungkapkan paparan polusi udara berbahaya yang tidak proporsional terjadi di kalangan kelompok rentan dan kurang terwakili. Kesenjangan yang mencolok dalam data pemantauan kualitas udara, semakin menggarisbawahi perlunya memperluas cakupan pemantauan kualitas udara di seluruh dunia.

“Laporan tahunan IQAir menggambarkan sifat internasional dan konsekuensi yang tidak adil dari krisis polusi udara yang berkepanjangan.

Laporan Kualitas Udara Dunia Tahunan ke-6 ini mengungkapkan rincian meresahkan tentang negara, wilayah, dan wilayah paling tercemar di dunia pada 2023. Untuk laporan tahun ini, data dari lebih dari 30.000 stasiun pemantauan kualitas udara di 7.812 lokasi di 134 negara, wilayah, dan wilayah dianalisis oleh ilmuwan kualitas udara IQAir.

Lima Negara dengan Kualitas Udara Terburuk

Sementara lima negara paling tercemar pada 2023 adalah:

  1. Bangladesh (79,9 µg/m3 ) 15 kali lebih tinggi dibandingkan pedoman tahunan PM2.5 WHO
  2. Pakistan (73,7 µg/m3 ) 14 kali lebih tinggi dibandingkan pedoman tahunan PM2.5 WHO
  3. India (54,4 µg/m3 ) 10 kali lebih tinggi dibandingkan pedoman tahunan PM2.5 WHO
  4. Tajikistan (49,0 µg/m3 ) 9 kali lebih tinggi dibandingkan pedoman tahunan PM2.5 WHO
  5. Burkina Faso (46,6 µg/m3 ) 9 kali lebih tinggi dibandingkan pedoman tahunan PM2.5 WHO

Sebanyak 124 (92,5%) dari 134 negara dan wilayah melampaui nilai pedoman PM2.5 tahunan WHO sebesar 5 µg/m3. Afrika masih menjadi benua yang paling kurang terwakili, dengan sepertiga penduduknya masih kekurangan akses terhadap data kualitas udara.

Kondisi iklim dan kabut asap lintas batas merupakan faktor utama di Asia Tenggara, dimana konsentrasi PM2.5 meningkat di hampir setiap negara. Wilayah Asia Tengah dan Selatan merupakan rumah bagi sepuluh kota paling berpolusi di dunia.

Sementara Begusarai, India, adalah wilayah metropolitan paling tercemar pada tahun 2023. India adalah rumah bagi empat kota paling tercemar di dunia.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah laporan ini, Kanada menjadi negara paling berpolusi di Amerika Utara, dengan 13 kota paling berpolusi di kawasan ini terletak di dalam perbatasannya. Sebanyak 70% data kualitas udara real-time di wilayah Amerika Latin dan Karibia berasal dari sensor berbiaya rendah.

Pemantauan Kualitas Udara Meningkat

Laporan tersebut mengatakan, jumlah negara dan wilayah yang melakukan pemantauan kualitas udara terus meningkat selama enam tahun terakhir. Namun, masih terdapat kesenjangan yang signifikan dalam instrumen peraturan yang dijalankan pemerintah di banyak belahan dunia.

Pemantau kualitas udara berbiaya rendah, disponsori dan diselenggarakan oleh ilmuwan warga, peneliti, aktivis komunitas, dan organisasi lokal, telah terbukti menjadi alat yang berharga untuk mengurangi kesenjangan dalam jaringan pemantauan udara di seluruh dunia.

 "Upaya lokal, nasional, dan internasional sangat diperlukan untuk memantau kualitas udara di tempat-tempat yang kekurangan sumber daya, mengatasi penyebab kabut asap lintas batas, dan mengurangi ketergantungan kita pada pembakaran sebagai sumber energi,” kata Aidan Farrow, Sr. Ilmuwan Kualitas Udara, Greenpeace Internasional.

“Pada 2023, polusi udara masih menjadi bencana kesehatan global, kumpulan data global IQAir memberikan pengingat penting akan ketidakadilan yang diakibatkannya dan perlunya menerapkan banyak solusi yang ada untuk mengatasi masalah ini," ujarnya.