Laporan terbaru dari Program Lingkungan PBB (UNEP) menyebutkan lebih dari 1 miliar makanan terbuang di seluruh dunia setiap harinya. Pada saat yang sama, hampir 800 juta orang mengalami kelaparan.
Dunia menyia-nyiakan 1,05 miliar metrik ton makanan pada tahun 2022. Seperlima dari makanan yang tersedia bagi manusia disia-siakan oleh rumah tangga, restoran, dan bagian lain dari layanan makanan dan sektor retail.
Angka ini belum termasuk 13% makanan dunia yang hilang dalam perjalanannya dari lahan pertanian hingga ke meja makan. Secara keseluruhan, sekitar sepertiga dari semua makanan terbuang selama proses produksi.
Angka-angka pemborosan ini sangat mencolok jika dibandingkan dengan temuan UNEP bahwa sekitar sepertiga dari populasi dunia menghadapi kerawanan pangan dan 783 juta orang terkena dampak kelaparan.
Statistik yang mengejutkan ini dilaporkan dalam Laporan Indeks Sampah Makanan 2024 dari Program Lingkungan PBB (UNEP), pada Rabu (27/3). Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan dunia untuk mendistribusikan makanan yang dihasilkannya dan menyoroti peran sampah makanan sebagai pendorong perubahan iklim.
"Sampah makanan adalah tragedi global. Jutaan orang akan kelaparan hari ini karena makanan terbuang sia-sia di seluruh dunia," kata Inger Andersen, Direktur UNEP, seperti dikutip CNN, Kamis (28/3). Sampah makanan bukan hanya masalah pembangunan tetapi juga menyebabkan yang besar bagi iklim dan alam.
Laporan tersebut membedakan antara kehilangan makanan (food loss) dan limbah makanan (food waste). Kehilangan makanan adalah makanan yang dibuang di awal rantai pasokan, misalnya sayuran yang membusuk di ladang dan daging yang membusuk jika tidak disimpan di lemari es. Sementara itu, limbah makanan adalah makanan yang dibuang oleh rumah tangga, restoran, dan toko.
Rumah tangga membuang 631 juta metrik ton makanan pada tahun 2022. Ini sekitar 60% dari total limbah makanan, sementara sektor layanan makanan menyumbang 28% dan retail 12%.
Rata-rata orang membuang 79 kilogram (174 pon) makanan setiap tahun. Ini berarti setidaknya satu miliar makanan yang dapat dimakan terbuang di rumah tangga setiap hari, menurut laporan UNEP tersebut.
Bahkan perkiraan ini masih konservatif. Laporan ini menggunakan jumlah titik data di tingkat rumah tangga hampir dua kali lipat sejak laporan sampah makanan PBB pada 2021. Meski demikian, laporan tersebut mengkritik negara-negara karena pemantauan yang tidak merata.
Sampah Makanan Memperburuk Perubahan Iklim
Hanya 21 negara yang memasukkan kehilangan dan pemborosan makanan dalam rencana iklim nasional mereka. Padahal, sektor ini menghasilkan 8% hingga 10% emisi pemanasan global atau hampir lima kali lebih banyak daripada emisi dari sektor penerbangan.
Meskipun dampak iklim dari penerbangan yang boros bahan bakar telah dibahas dengan baik, dampak dari masalah limbah makanan masih terabaikan.
Makanan membutuhkan sumber daya yang besar untuk diproduksi, membutuhkan banyak lahan dan air, dan sistem pangan bertanggung jawab atas sekitar sepertiga dari emisi pemanasan global.
Sebagian besar sampah makanan dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA), menghasilkan metana saat terurai. Sebagai gas rumah kaca yang kuat, metana memiliki kekuatan pemanasan sekitar 80 kali lipat dari karbondioksida selama 20 tahun pertama.
UNEP menyebut sampah makanan tidak hanya memicu perubahan iklim, tetapi juga dapat memperburuknya. Negara-negara yang lebih panas ditemukan membuang lebih banyak makanan daripada negara yang lebih dingin. Hal ini disebabkan suhu yang lebih tinggi membuatnya lebih sulit untuk menyimpan dan mengangkut makanan sebelum membusuk.
Laporan tersebut juga mengatakan bahwa sampah makanan bukan hanya fenomena "negara kaya". Jumlah makanan yang terbuang di negara-negara berpenghasilan tinggi dan menengah hanya berbeda 7 kilogram (15 pon) per orang setiap tahunnya.