40% Pembiayaan Bank di RI Digunakan untuk Komoditas yang Ancam Hutan

ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/foc.
Foto udara lokasi menumbangkan pohon kelapa sawit di Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Sabtu (29/4/2023).
28/3/2024, 15.06 WIB

Tuk Indonesia bersama Koalisi Forests & Finance menemukan sebanyak 40 persen atau US$ 30,5 miliar atau Rp 483 triliun pembiayaan dari bank di Indonesia digunakan untuk kredit bagi perusahaan kelapa sawit, pulp & paper, karet dan kayu yang beroperasi di Indonesia. Pembiayaan yang dihitung sejak Perjanjian Paris tersebut mendorong deforestasi besar-besaran di hutan tropis.

Direktur Eksekutif Tuk Indonesia, Linda Rosalina, mengatakan penemuan ini tercantum dalam laporan Banking on Biodiversity Collapse (BOBC) yang dirilis Tuk Indonesia, Rabu (27/3) Laporan terdiri dari sebuah data komprehensif mengenai peran pendanaan besar dalam mendorong deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim dan pelanggaran hak asasi manusia di kawasan hutan tropis.

Linda mengatakan, tingginya pembiayaan pada sektor tidak ramah lingkungan tersebut menujukkan bahwa kebijakan terkait lingkungan, sosial dan tata kelola (LST atau “ESG”) bank-bank besar di Indonesia masih tertinggal hingga gagal mencegah hilangnya hutan dan keanekaragaman hayati.

 “Seharusnya bank Indonesia ikut menjalankan penegakkan komitmen nol deforestasi, nol pembangunan di lahan gambut, dan nol eksploitasi (NDPE) pada tingkat grup perusahaan yang berisiko pada hutan, dan meminta perusahaan-perusahaan ini mematuhi komitmen tersebut sebagai syarat pembiayaan yang ditujukan bagi nasabah non-NDPE mereka,” kata Linda dalam keterangan tertulisnya, Kamis (28/3).

Namun, implementasi komitmen ini sering kali tidak jelas. Saat ini, belum ada satu pun dari bank besar di Indonesia itu yang mengadopsinya.

Padahal bank-bank yang berasal dari Malaysia, Singapura dan Jepang baru-baru ini mulai mengadopsi kebijakan yang sejalan dengan NDPE.

Pembiayaan Hijau di Indonesi Naik Signifikan

Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan ada kenaikan signifikan pembiayaan hijau atau green financing yang dilakukan perbankan Indonesia pada 2023. Meningkatnya risiko terkait perubahan iklim dan keberlanjutan membawa potensi baru bagi bisnis perbankan.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, bank-bank besar melirik potensi pembiayaan hijau melalui penyaluran kredit yang menerapkan aspek berkelanjutan.

“Saya hanya bisa mengatakan kualitatif saja. Jumlah sangat signifikan,” kata Dian dalam Peluncuran climate risk management & scenario analysis (CRMS) bertajuk “Indonesian Banking Road to Net Zero Emissions” di Jakarta, Senin (4/2).

Dian mengatakan, potensi pembiayaan hijau di Indonesia sangat luar biasa. Pasalnya, Pemerintah saat ini sedang mendorong percepatan pengembangan energi terbarukan geothermal, angin, hingga air.

“Potensi ini sangat luas karena secara natural kita itu berkat bagi Indonesia. Ada macam-macam. Ada sungai, ada angin, ada geothermal dan sebagainya. Dan itu akan kita optimalkan sebenarnya,” ucapnya.

Reporter: Rena Laila Wuri