Laporan Khusus | World Water Forum

World Water Forum Akan Bahas Krisis Air Imbas Perubahan Iklim

ANTARA FOTO/Arnas Padda
Foto udara bendungan Leko Pancing yang mengalami penurunan debit air akibat musim kemarau berkepanjangan di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
1/4/2024, 17.14 WIB

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut saat ini masyarakat global sedang dihadapkan persoalan mengenai kesenjangan hak atas air. Hal ini diperparah dengan perubahan iklim yang terjadi.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, perubahan iklim ini menjadikan air yang harusnya membuat sejahtera justru dapat menjadi bencana seperti kekeringan dan banjir.

Untuk itu, Pemerintah Indonesia berencana untuk membawa isu ini dalam pertemuan 10th World Water Forum (WWF) yang akan diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, Indonesia pada 18-24 Mei 2024 mendatang. Tujuanya adalah mewujudkan keadilan dalam pemanfaatan penggunaan air secara setara di seluruh negara dunia.

Mengutip laporan World Meteorological Organization (MWO) krisis air di dunia nyata terjadi di tengah-tengah masyarakat. Saat ini pola debit sungai dan aliran masuk waduk sebagian besar lebih kering daripada kondisi normalnya.

Sungai dan waduk juga mengalamai penurunan kelembapan tanah selama musim panas yang disebabkan oleh kekeringan.

Menurut Dwikorita, berdasarkan hasil dari banyak analisa lembaga iklim dunia, kondisi iklim dan cuaca saat ini terus mengalami ketidakpastian salah satunya diakibatkan belum terkendalinya pembuangan gas rumah kaca CO2 di atmosfer.

Kondisi ketidakpastian tersebut mengakibatkan timbulnya cuaca ekstrem; baik kekeringan maupun hujan di atas kenormalan rata-rata. Hal ini membuka peluang timbulnya degradasi sosial-kesehatan masyarakat tetapi juga mempengaruhi kondisi finansial atau ekonomi suatu negara.

“Itu salah satu substansi penting WWF di Bali nanti karena sebagian besar negara di dunia sudah merasakan dampak dari tantangan perubahan iklim ini yang artinya ketersediaan air harus dijaga demi kepentingan bersama,” kata dia.

Ia menyatakan, forum tersebut juga akan melahirkan konsensus politik dari para kepala negara atau lembaga otoritas yang mewakili 30-an negara peserta yang bersifat mengikat atau harus dilaksanakan demi mengatasi potensi krisis iklim tadi.

Dwikorita menilai konsensus yang mengikat itu adalah poin terpenting yang akan dihasilkan WWF Ke-10, karena artinya kepala negara-negara peserta sepakat untuk mengeksekusi segenap rencana aksi yang sudah disusun secara saintifik berbasis ekosistem dan peristiwa alam oleh negara masing-masing.

Adapun rencana aksi nyata tersebut menyangkut mitigasi perubahan iklim dan menghapus kesenjangan antara tantangan dan kapasitas masing-masing negara dalam hal pengelolaan sumber daya air, iklim, pangan, energi, dan kesehatan.

“Kemampuan setiap negara tentu berbeda. Pengetahuan sains dan teknologi yang tertinggal yang menjadikan kesenjangan itu semakin kompleks dan rumit. Saat ini kita bisa mengakhirinya bersiap mengatasi krisis iklim secara bersama-sama,” ujarnya.

Sebagai informasi, World Water Forum Ke-10 memiliki tema “Water for Shared Prosperity” yang diterjemahkan ke dalam enam subtema yang dibahas, di antaranya water for human and nature, water security and prosperity, disaster risk reduction and management, governance cooperation and hydro diplomacy, sustainable water finance, dan knowledge and innovation.

Dalam forum tersebut, Indonesia nantinya membuka ruang diskusi antarpemangku kepentingan yang berasal dari sejumlah kawasan yakni Mediterania, Asia Pasifik, Amerika, dan Afrika bersama negara-negara anggota World Water Council mencari berbagai mekanisme dan pendekatan untuk menyelesaikan isu yang berkaitan dengan air.

Ruang diskusi antarpemangku kepentingan mulai dari kepala negara, anggota parlemen, pejabat setingkat menteri, pemerintah daerah, hingga otoritas wilayah sungai akan secara spesifik membahas permasalahan air yang erat kaitannya dengan politik, regional/kawasan dan tematik.

Reporter: Rena Laila Wuri