Menteri Koordinator (Menko) Maritim dan Investasi (Marinves) RI, Luhut Binsar Pandjaitan, bertemu Perdana Menteri (PM) Singapura, Lee Hsien Loong dan Deputi PM, Lawrence Wong, di Singapura pada Selasa (22/4). Salah satu pembahasan dalam pertemuan tersebut adalah menjajaki peluang kerja sama baru antara Indonesia da Singapura terkait penyimpanan karbon atau carbon capture storage (CCS).
“Misalnya realisasi CCS lintas batas negara yang akan menjadi lompatan signifikan bagi kedua negara untuk membangun industri rendah karbon,” tulis Luhut dalam akun instagram pribadinya @luhut.padjaitan, dikutip Rabu (24/4).
Menurutnya, kerjasama ini sejalan dengan kemampuan Indonesia. Pasalnya, Indonesia merupakan negara Asia Pasifik tercepat dalam penyusunan regulasi CCS.
Sebagai informasi, Lawrence Wong akan segera dilantik menggantikan Lee Hsien Loong sebagai PM Singapura.
Luhut menyebut Wong menyampaikan ketertarikannya dalam kerjasama realisasi CCS ini. Wong menyatakan siap untuk melakukan studi awal rencana kerjasama tersebut.
Sementara itu, PM Lee Hsien Loong dalam postingan di instagram pribadinya mengatakan Luhut menyambanginya di Istana PM Singapura untuk berdiskusi terkait sejumlah hal.
Ia mengatakan, Singapura akan bekerja sama dengan Indonesia dalam bidang yang sedang berkembang, seperti kesehatan, energi terbarukan, dan keberlanjutan.
“Hal ini akan menghasilkan peluang baru bagi Singapura dan Indonesia, dan memperdalam saling ketergantungan kita," kata Lee dikutip akun Instagram pribadinya @leehsienloong, Rabu (24/4).
Indonesia Buka Keran 'Impor' Karbon
Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan aturan yang memungkin Indonesia melakukan penyimpanan karbon dari luar negeri atau carbon capture storage (CCS) cross border. Namun demikian, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi agar perusahaan luar negeri bisa menyimpan karbonnya di Indonesia.
Persyaratan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon yang diterbitkan 30 Januari 2024.
Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji, mengatakan Indonesia memiliki potensi penyimpanan karbon lebih dari 577 Gigaton.
Menurut perhitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas), terdapat potensi besar penyimpanan karbon saline aquifer sebesar 572,77 Gigaton. Sementara potensi depleted oil & gas reservoirs sebesar 4.85 Gigaton.
“Perhitungan ini dilakukan internal oleh kepala balai Lemigas dan di bawah Direktorat Jenderal Minyak dan Gas (Ditjen Migas) Kementerian ESDM,” kata Dirjen Migas Tutuka Ariadji, Selasa (20/2).
Berikut syarat penyimpanan karbon lintas negara:
1. Perusahaan luar negeri atau pengimpor sudah memiliki investasi di Indonesia
Dalam Pasal 35 dituliskan bahwa penyimpanan karbon yang berasal dari luar negeri hanya dapat dilakukan oleh penghasil Karbon yang melakukan investasi atau terafiliasi dengan investasi di Indonesia.
Tutuka mengatakan, perusahaan luar negeri tersebut harus memiliki bisnis yang telah di kembangkan atau mendanai sebuah industri di Indonesia.
“Jadi sudah ada industri yang dikembangkan disini,” kata Tutuka.
2. Pengimpor sudah melakukan kerja sama bilateral antarnegara.
Tutuka mengatakan, pengangkutan karbon yang berasal dari luar negeri hanya dapat dilakukan dengan perjanjian kerja sama bilateral antar negara.
“Misalnya dengan Singapura atau Jepang harus ada MoU antar negara. Baru turunanya nanti business to business (B2B), yang penting MoU antar negara harus ada dulu,” ucapnya.
Kerjasama yang dilakukan antara pengimpor dengan Indonesia harus sesuai ketentuan perjanjian internasional terkait pengangkutan karbon lintas negara.
3. Pengimpor telah mendapat rekomendasi atau izin untuk pengangkutan karbon
Berdasarkan pasal 45 ayat 2, rekomendasi atau izin diperlukan dalam rangka Pengangkutan Karbon lintas negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara masing-masing. Jadi, pengimpor tidak dapat mengangkut karbon miliknya sebelum ada izin dari Pemerintah Indonesia.
Selain itu, Karbon yang diangkut ke dalam wilayah kepabeanan Indonesia, wajib diregistrasikan oleh pengimpor. Registrasi dilakukan satu kali saat pertama kali impor.
Apabila terjadi kebocoran karbon, Tutuka mengatakan, hal itu tidak menambah inventaris emisi gas rumah kaca Indonesia.