Gunung Ruang Erupsi, Apa Dampaknya terhadap Cuaca dan Iklim?

Antara
Gunung Ruang di Kabupaten Kepulauan Sitaro Sulawesi Utara meletus, Selasa (16/4)
Penulis: Hari Widowati
25/4/2024, 15.54 WIB

Ketika Gunung Ruang di Indonesia mengalami beberapa letusan eksplosif minggu lalu, gas-gas vulkanik terlontar puluhan ribu meter dari atas tanah hingga mencapai lapisan kedua atmosfer.

Potensi dampak letusan terhadap cuaca dan iklim mulai menjadi perhatian. Bahkan, ketika bahaya yang ditimbulkan oleh gunung berapi masih ada dan evakuasi masih terus berlanjut. Gunung berapi bisa saja memiliki dampak jangka pendek terhadap iklim, termasuk pendinginan suhu global karena gas-gas yang disuntikkannya ke atmosfer bagian atas.

Greg Huey, Direktur Sekolah Ilmu Bumi dan Atmosfer Georgia Tech, mengatakan pengaruh Gunung Ruang terhadap iklim kemungkinan besar akan sangat kecil. "Kondisi cuaca sehari-hari di sekitar Gunung Ruang - seperti suhu, awan dan hujan - mungkin tidak akan terpengaruh oleh gunung berapi untuk waktu yang lama," kata Huey kepada CNN.

Gunung Ruang, gunung berapi stratovolkano setinggi 725 meter di Pulau Ruang, Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia, telah meletus setidaknya tujuh kali sejak Selasa (16/4) malam. Menurut para ahli vulkanologi, gunung berapi stratovolkano dapat menghasilkan letusan eksplosif karena bentuknya yang kerucut sehingga memungkinkan gas untuk menumpuk.

Abu vulkanik biasanya merupakan campuran dari padatan yang hancur. Menurut NASA, material pembentuk abu vulkanik itu termasuk batu, mineral dan kaca, serta gas, seperti uap air, karbon dioksida dan sulfur dioksida.

Huey menyebutkan, padatan yang hancur menghasilkan banyak listrik statis di dalam gumpalan abu saat mereka saling bertabrakan, sehingga menghasilkan tampilan pencahayaan yang intens. “Abu itu berumur pendek di atmosfer karena berat, besar, dan cenderung mengendap dengan cepat,” kata Huey kepada CNN. Gas-gas itulah yang mampu mencapai ketinggian yang lebih tinggi di atmosfer.

Abu yang pekat di dekat permukaan menciptakan kualitas udara yang berbahaya dan menyebabkan efek pendinginan sementara karena menghalangi sinar matahari yang menghangat. Setelah letusan aktif berhenti, abu mulai mengendap.

Namun, abu yang mencapai tanah dapat dengan mudah terangkat kembali ke udara oleh angin sepoi-sepoi. Tetesan air sering kali menempel pada abu di udara dan membentuk awan badai yang dapat menurunkan hujan atau menghasilkan petir tambahan.

Beberapa gas dari letusan Gunung Ruang naik begitu tinggi hingga menembus stratosfer, lapisan kedua atmosfer Bumi. Lapisan ini terletak tepat di atas troposfer, yang merupakan tempat semua kehidupan dan cuaca terjadi.

Huey mengatakan stratosfer adalah tempat yang sangat kering dan biasanya hanya gas-gas yang memiliki umur panjang - yang mencakup puluhan tahun - yang tersaring ke dalamnya. Letusan gunung berapi pada dasarnya adalah satu-satunya cara alami bagi gas-gas yang berumur pendek - kurang dari beberapa tahun - seperti sulfur dioksida dan uap air untuk masuk ke dalam stratosfer.

Pengamatan pascaerupsi Gunung Ruang (ANTARA FOTO/HO-Basarnas/adw/aww.)

Setelah berada di stratosfer, sulfur dioksida dan uap air bergabung membentuk aerosol asam sulfat yang menciptakan lapisan tetesan berkabut. Tetesan ini menyebar jauh dari titik masuknya dan tetap berada di stratosfer hingga tiga tahun, memantulkan sinar matahari kembali ke angkasa dan menyebabkan suhu global mendingin. Tetapi, efek pendinginan berlangsung lebih lama jika lebih banyak gas yang masuk ke stratosfer.

Pada 1991, Gunung Pinatubo - gunung berapi stratovolkano lainnya - meletus di Filipina dan menghasilkan awan sulfur dioksida terbesar yang pernah diukur. Menurut Survei Geologi Amerika Serikat, letusan ini menyemburkan lebih dari 17 juta ton gas ke atmosfer dan menyebabkan penurunan suhu global sekitar 0,5 derajat Celcius yang berlangsung selama satu tahun.

Sebagai perbandingan, instrumen satelit memperkirakan Gunung Ruang telah melepaskan sekitar 300.000 ton sulfur dioksida sejauh ini, meskipun tidak jelas berapa banyak dari jumlah tersebut yang berhasil mencapai stratosfer. Meskipun jumlah tersebut cukup besar, menurut Huey, sulfur dioksida yang dilepaskan masih jauh dari kasus yang paling ekstrem.

Letusan sebesar Gunung Pinatubo pada tahun 1991 tentu saja dapat mendinginkan planet ini selama beberapa tahun. Erupsi semacam itu tidak akan dapat menghapus kesengsaraan iklim Bumi saat ini yang disebabkan oleh polusi yang menghangatkan planet ini. Letusan tersebut juga bakal menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi kehidupan dan harta benda.