Parlemen Eropa menyetujui undang-undang (UU) yang akan melarang kemasan plastik sekali pakai tertentu, seperti botol sampo mini di hotel dan kantong plastik tipis untuk bahan makanan. Kondisi tersebut terancam menurunkan ekspor produk Indonesia di tahap awal.
Peneliti Center of Economic and Law Research (Celios) Fiorentina Refani menilai kebijakan tersebut akan berdampak pada kegiatan ekspor produk sekali pakai secara global, termasuk di Indonesia. Produsen di Indonesia banyak yang menggunakan kemasan plastik sekali pakai karena pertimbangan biaya yang lebih murah.
Fiorentina mengatakan, larangan tersebut menyebabkan produsen Indonesia perlu menyesuaikan kemasan yang digunakan jika ingin melakukan ekspor ke Uni Eropa. Kondisi tersebut berpotensi menyebabkan biaya produksi naik.
“Ada dua pilihan yang harus dibuat jika biaya produksi naik, antara menaikkan harga barang atau memangkas margin yang menekan profitabilitas,” kata Fiorentina saat dihubungi Katadata, Senin (29/4).
Akan tetapi, dia mengatakan, saat ini terdapat perubahan tren konsumsi global di mana konsumen kerap memperhatikan nilai keberlanjutan lingkungan produk yang mereka beli. Ini bisa menjadi celah untuk para produsen asing, termasuk Indonesia dalam menjawab permintaan pasar tersebut.
Berpotensi Tekan Ekspor
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai juga akan berdampak pada industri plastik di Indonesia. Aturan baru ini akan menjadi hambatan non-tarif untuk Indonesia dan negara lain saat melakukan ekspor produk plastik ke Eropa.
Hambatan non-tarif merupakan hambatan yang dihadapi pelaku ekspor selain pengenaan tarif atas produk yang masuk ke negara tertentu, salah satunya terkait standarisasi. Itu artinya, pemberlakukan aturan produk yang akan masuk ke suatu negara harus memenuhi standar ataupun persyaratan khusus yang ada di wilayah tersebut.
Dengan adanya aturan tersebut, produsen asing harus memenuhi persyaratan yang rumit dan mahal untuk memasukkan produk mereka ke pasar negara tersebut. Tauhid mengatakan salah satu dampak dari hambatan non-tarif ini adalah beban biaya produksi plastik akan mengalami kenaikan.
“Misalnya, untuk produk-produk plastik seperti industri kemasan dan sebagainya, pasti akan menambah beban biayanya,” kata Tauhid saat dihubungi Katadata, Jumat (26/4).
Dengan situasi tersebut, membuat produsen plastik asing termasuk Indonesia perlu penyesuaian dengan aturan yang diberlakukan Eropa.
Tauhid menyebut pihaknya belum mengetahui secara pasti berapa besar produk plastik Indonesia yang di ekspor ke Eropa. Namun, menurutnya itu tetap akan berdampak penurunan ekspor.
“Besarannya tergantung apakah memang industri kita di dalam negeri, baik bahan baku maupun industri turunannya bisa menyesuaikan dengan kebijakan tersebut atau tidak,” ucapnya.
Tauhid yakin Indonesia dapat menyesuaikan kebijakan tersebut dan bersaing dengan negara lain. Produk industri plastik di Indonesia memiliki keunggulan dibandingkan negara lain, tetapi tergantung kesiapan industri di tanah air dalam melakukan penyesuaian.
Pada tahap awal, dia mengatakan, akan terjadi penurunan dari ekspor karena menyesuaikan kebijakan aturan baru. Tauhid menjelaskan bila aturan tersebut sama sekali melarang produk plastik digunakan di Eropa.
Diterapkan 2030
Sebelumnya, Uni Eropa (UE) akan memberlakukan UU yang melarang kemasan plastik sekali pakai. Aturan ini sebagai upaya UE untuk menekan limbah kemasan yang terus meningkat.
Aturan ini akan memperkenalkan perubahan besar pada jenis kemasan yang diizinkan untuk digunakan oleh perusahaan makanan dan minuman, restoran, serta ritel online. Undang-undang tersebut juga memuat larangan barang kemasan plastik sekali pakai untuk buah dan sayuran, bumbu di restoran cepat saji, kantong plastik tipis untuk bahan makanan, dan botol kosmetik mini di hotel di UE mulai 2030.
Negara-negara di Eropa akan diwajibkan untuk menerapkan sistem pengembalian kemasan sekali pakai berupa botol dan kaleng plastik sebesar 90 persen per tahun. Aturan itu akan diimplementasikan mulai 2029.
Distributor minuman juga harus memastikan 10% produk mereka berada dalam kemasan yang dapat digunakan kembali mulai 2030, kecuali produk anggur. Gerai makanan take-away akan diwajibkan memberikan pelanggan pilihan untuk membawa cangkir atau wadah makanan mereka sendiri yang dapat digunakan kembali.