Pemerintah dan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat RI telah menyepakati ketentuan mengenai Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk mendukung mekanisme perdagangan karbon. Ketentuan tersebut diatur dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang saat ini masih disusun di parlemen.
“Sudah disepakati ya, itu nilai ekonomi karbon,” kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, saat dihubungi Katadata, Selasa (7/5).
Eniya mengatakan, semua badan usaha yang melakukan mitigasi pemanasan global (global warming), seperti upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), dapat menjadi bagian dari perdagangan karbon. Dengan demikian, badan usaha dapat memanfaatkan nilai karbonnya.
Untuk diketahui, nilai ekonomi karbon diajukan sebagai bagian dari Peta Jalan Transisi Energi dalam rangka mencapai target nationally determined contribution (NDC) untuk pengurangan emisi GRK. Pengurangan emisi karbon tersebut dapat dilakukan dengan mekanisme perdagangan karbon, kredit karbon, pungutan atas karbon, serta mekanisme lain yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Beberapa waktu lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, mekanisme NEK sebenarnya sudah diatur dalam regulasi Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021. Namun, implementasi aturan tersebut belum dimulai.
“Penerapan pajak karbon belum kita mulai saat ini, tapi kita sudah menyiapkan mekanisme mengenai carbon offset. Kalau ini sudah terpetakan ya tinggal bagaimana nanti, kita menerapkannya pajak karbon ini kapan bisa mulai diberlakukan," kata Arifin dalam siaran pers, Selasa (16/1).
Untuk itu, pemerintah memasukan nilai karbon ke RUU EBET sebagai pelengkap ketentuan nilai ekonomi karbon yang sudah ada.
Sebagai informasi RUU EBET telah disampaikan oleh DPR kepada pemerintah sejak 14 Juni 2022. RUU EBET ini merupakan RUU inisiatif DPR yang menjadi prioritas pembahasan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022 melalui Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022.
Pembahasan kembali RUU EBET dijadwalkan akan dilakukan pada bulan ini setelah masa reses DPR RI selesai.
Setiap negara dapat menetapkan kebijakan harga karbon yang berbeda. Namun, menurut Bank Dunia, harga karbon yang ideal untuk mencegah pemanasan global berkisar antara US$ 40-US$ 80 per metrik ton CO2 pada tahun 2020, lalu dinaikkan hingga mencapai kisaran US$ 50-US$ 100 per metrik ton pada tahun 2030.
Berdasarkan laporan Bloomberg NEF, negara G20 yang menetapkan harga karbon termahal adalah Inggris, dengan tarif rata-rata US$83 per metrik ton CO2.
"Eropa dan Kanada adalah pemimpin G20 dalam hal kebijakan karbon yang kuat. Harga karbon yang mereka tetapkan sudah cukup sesuai, bahkan di atas level yang diperlukan untuk membatasi pemanasan global hingga 2 derajat Celcius," kata Bloomberg NEF dalam laporan Climate Policy Factbook COP27 Edition.