Gap Pendanaan Hijau Sektor Kelautan Tinggi, RI Minta Dukungan Global

Tia Dwitiani Komalasari/Katadata
Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, saat menjadi pembicara dalam Tri Hita Karana Forum Breakout Session: Wealth amd Ocean Water yang menjadi rangkaian World Water Forum atau WWF ke 10 di Denpasar, Bali, Minggu (19/5).
19/5/2024, 21.56 WIB

Pembangunan berkelanjutan di sektor kelautan (SDGs 14) idealnya membutuhkan pendanaan  US$ 175 miliar atau Rp 2.791 triliun per tahun, berdasarkan penelitian United Nations Conference on Trade and Development. Namun data tahun 2013-2018, menujukkan pendanaan untuk SDGs Goal 14 hanya sebesar US$ 2,9 miliar per tahun atau Rp 46 triliun per tahun.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, mengatakan, diperlukan Skema Global Blended Finance Alliance (GBFA) untuk dijadikan jembatan kesenjangan pendanaan, khususnya bagi negara-negara berkembang, negara-negara kepulauan kecil, dan terbelakang dalam meningkatkan aksi perubahan iklim dan pencapaian target SDGs 14.

GBFA terdiri dari pemerintah, filantropi, pasar karbon, swasta, pendanaan internasional, dan investor nasional maupun internasional. 

"Pertemuan ini mempunyai peran strategis bagi seluruh negara dan seluruh stakeholder dalam berkolaborasi dan bersinergi untuk mewujudkan Sustainable Freshwater and Ocean Wealth," ungkapnya pada Dialog G20 Global Blended Finance Alliance membahas Sustainable Freshwater and Ocean Wealth, yang merupakan side event World Water Forum (WWF) di Denpasar, Bali, Minggu (19/5).

Trenggono mengajak partisipasi multi stakeholder di tingkat global, untuk mendukung program tata kelola perairan berkelanjutan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kesenjangan pendanaan menjadi salah satu persoalan mencapai pembangunan berkelanjutan di sektor kelautan (SDGs-14).

Menteri Trenggono memaparkan, Pemerintah Indonesia sejatinya memiliki lima program ekonomi biru untuk pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang berkelanjutan. Lima program ini erat kaitannya dengan tata kelola sumber daya perairan di darat dan laut yang berkelanjutan.

Kelimanya meliputi perluasan kawasan konservasi laut; penangkapan ikan terukur berbasis kuota; pengembangan budidaya berkelanjutan di laut, pesisir, dan darat; pengendalian dan pengawasan pemanfaatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta aksi pembersihan sampah plastik di laut melalui gerakan partisipasi nelayan.

Melalui lima program ekonomi biru, pemerintah Indonesia ingin memastikan keberlanjutan ekosistem perairan, ketersedian pangan melalui produk kelautan dan perikanan, serta mewujudkan pemerataan pertumbuhan ekonomi di wilayah pesisir.

Ekosistem perairan yang sehat, juga akan berkontribusi dalam menahan laju perubahan iklim yang menjadi persoalan global saat ini.

"Indonesia sangat terbuka terhadap multi stakeholder yang ingin berkolaborasi dan bersinergi baik terkait dengan kebijakan, sumber daya manusia, data dan teknologi, pendanaan, serta memperkuat jaringan pasar dan pelaku usaha," kata dia.

Senior Vice President and Executive Chair Konservasi Indonesia, Meizani Irmadhiany, mengatakan, Konservasi Indonesia mendukung program pemerintah, Blue Halo S. Program tersebut bertujuan membagun sistem pendanaan untuk benar-benar mengelola kawasan konservasi dan kawasan ekonomi biru secara bersamaan.

"Jadi bagaimana menambah nilai untuk kawasan konservasi yang jadi daya dukung dan daya topang segi ekonomi biru dari perikanan. Ini yang belum ada di dunia," ujarnya.

Dia mengatakan, target pendanaan awal untuk program tersebut mencapai  US$ di atas 60 juta dolar atau Rp 957 miliar dari segi hibah pada tahun ini. Pendanaan tersebut diharapkan bisa dikembangkanmenjadi US$ 200-330 juta atau Rp 3,1 triliun hingga Rp 4,8 triliun per tahun.