Perusahaan rintisan atau startup asal Bandung Mycotech Lab (MYCL) berhasil memanfaatkan jamur dan media tumbuhnya menjadi kulit imitasi. Langkah ini bisa membantu menekan emisi karbon sekaligus mencegah penambahan limbah baru.
Chief Innovation Officer MYCL Mohamad Arekha Bentangan mengatakan, produk yang telah dihasilkan oleh MYCL berupa bahan bangunan produk dari bagian vegetatif seperti benang dari jamur yang dikenal sebagai miselium.
"Saat ini MYCL mampu menghasilkan 10 ribu kaki persegi kain kulit berbahan jamur," ujar Arekha saat ditemui di Bandung, Rabu (24/7).
Arekha mengatakan, MYCL didirikan pada 2015 dengan fokus untuk menciptakan dampak sosial yang positif. Usaha ini berangkat dari kekhawatiran terhadap banyaknya limbah jamur tiram yang dibakar karena tak terpakai. MYCL memanfaatkan sisa limbah tersebut sehingga tidak ada sisa makanan yang terbuang.
Menggunakan sistem pengolahan yang mirip dengan tempe, MYCL mengikat miselium dengan limbah pertanian seperti sekam jagung dan serpihan kayu. Mereka kemudian menumbuhkannya menjadi bahan yang disebut MyleaTM. Bahan ini tahan api, tahan air dan fleksibel, bahkan dapat diubah menjadi berbagai kreasi kulit imitasi eksperimental.
Arekha menyebut, kain kulit yang berasal dari MyleaTM ini diklaim lebih rendah emisi jika dibandingkan dengan produk kulit sapi. Menurutnya, dari proses keduanya, emisi karbon kain kulit berbahan dasar jamur lebih rendah 500 persen dari baham dasar kulit sapi.
"Kalau kulit sapi itu menghasilkan karbon 110 kilogram CO2 ekuivalen per meter persegi karena harus menunggu sapinya dari kecil sampai besar," ujarnya.
Hal tersebut terjadi karena MYCL menumbuhkan jamur yang prosesnya lebih cepat. "Kalau kulit sapi butuh waktu dua tahu kami hanya sekitar tiga sampai empat bulan," ucapnya.
Adapun, karbon yang dihasilkan lewat pengolahan Mylea hanya 22,1 CO2 ekuivalen per meter persegi. "Bila MYCL dapat meningkatkan produksi Mylea maka diperkirakan karbon yang dihasilkan dapat -3 CO2 ekuivalen," ungkapnya.