Jakarta kembali menjadi kota paling terpapar polusi di dunia pada Selasa pagi (20/8). Berdasarkan data yang dihimpun situs pemantau kualitas udara IQAir pada pukul 09.54 WIB, Indeks Kualitas Udara (AQI) poin Jakarta sebesar 164 atau berada dalam kategori tidak sehat.
Kategori tersebut menunjukkan bahwa kualitas udara di wilayah tersebut tidak sehat bagi manusia untuk beraktivitas di luar ruangan.
Selain Jakarta, terdapat dua kota di Indonesia yang masuk dalam 50 besar kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, Kota tersebut adalah Medan dan Batam. Medan menempati posisi ke 32 dengan Indeks AQI sebesar 65, dan Batam menempati posisi ke 41 dengan Indeks AQI sebesar 58 atau berada pada kategori sedang.
Adapun kategori sedang yakni kualitas udaranya tidak berpengaruh buruk pada kesehatan manusia ataupun hewan, tetapi berdampak pada tumbuhan yang sensitif dan nilai estetika dengan rentang PM2,5 sebesar 51-100.
Sementara kota dengan kualitas udara terburuk di dunia di posisi kedua ditempati oleh Sao Paolo di Brazil dengan AQI poin sebesar 153, ketiga Manama di Bahrain dengan AQI poin sebesar 127, keempat ada Lahore di Pakistan dengan AQI poin sebesar 127, dan posisi kelima Kuwait City di Kuwait dengan AQI poin sebesar 122.
Jakarta Butuh 71 Titik Stasiun Pemantai Kualitas Udara
Provinsi DKI Jakarta hingga saat ini memerlukan 71 titik Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) agar intervensi kebijakan dapat diambil dengan tepat terkait kualitas udara, baik sektor kesehatan, pendidikan, maupun transportasi.
"Saat ini baru terealisasi 31 titik," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto di Jakarta, Selasa (13/8).
Ia menjelaskan, bahwa kebutuhan data yang akurat terkait SPKU juga dibutuhkan dari sektor kesehatan, pendidikan dan transportasi. Menurut dia, 31 titik SPKU yang tersebar di wilayah DKI itu masih sangat kurang untuk memantau kualitas udara di Jakarta.
Menurut Asep, hasil kajian yang ada menunjukkan kebutuhan SPKU di DKI mencapai 71 unit atau sekitar empat SPKU per kecamatan. "Kami memang sudah mengkaji kebutuhan SPKU dan jumlah 71 unit ini merupakan kajian," katanya.
Asep mengatakan, jumlah SPKU yang mumpuni berdampak pada banyaknya intervensi kebijakan yang dapat diambil dengan tepat terkait kualitas udara, baik sektor kesehatan, pendidikan, maupun transportasi.
Ia mencontohkan akurasi kualitas data kualitas udara dapat membantu petugas atau dinas kesehatan mempersiapkan obat-obatan terutama yang berhubungan dengan penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA).
Begitu juga pada sektor transportasi, Dinas Perhubungan dapat memberlakukan sejumlah rekayasa dalam mengurangi jumlah kendaraan ketika di suatu lokasi kualitas udaranya memburuk.
"Akurasi data terkait kualitas udara untuk dinas kesehatan nanti bisa menentukan intervensi terhadap kondisi penyakit yang diderita. Ini bisa merujuk dari data yang dihasilkan oleh SPKU," katanya