Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai target iklim Indonesia belum menunjukkan ambisi penurunan emisi yang paling optimal pada draf awal dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) atau NDC Kedua. Berdasarkan estimasi Climate Action Tracker (CAT), target iklim 2030 yang ditetapkan negara-negara saat ini apabila diimplementasikan sepenuhnya, akan memicu kenaikan suhu global sebesar 2,5°C pada akhir abad ini.
Seperti diketahui, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyampaikan pada draf awal dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) atau NDC Kedua pada konsultasi publik (20/07/2024). IESR menilai target NDC kedua belum optimal sesuai dengan kewajiban dan kemampuan negara, selaras dengan pembatasan temperatur global 1,5°C.
"Keadaan krisis iklim seharusnya dipandang sebagai keadaan mendesak dan kritis sehingga perlu aksi iklim ambisius di segala sektor," kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam keterangan tertulis, Senin (2/9).
Untuk itu, Fabby mendorong pemerintah Indonesia untuk memperkuat target penurunan emisi 2030 sesuai Persetujuan Paris dan meningkatkan target NDC, terutama di target conditional (bersyarat, dengan bantuan internasional).
Untuk sejalan dengan 1,5°C, Indonesia perlu menetapkan target NDC tanpa syarat sebanyak 817 juta ton setara karbon dioksida per tahun pada 2030. Kemudian target NDC bersyarat sebesar 771 juta ton setara karbon dioksida pada per tahun pada 2030, dan 647 juta ton setara karbondioksida pada 2035 (angka dalam GWP IPCC AR5), di luar sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU). Angka tersebut merupakan rujukan CAT.
"Sayangnya di sektor energi, salah satu aksi mitigasi pemerintah belum sejalan dengan batas emisi tersebut," kata Fabby.
Selain itu, dia mengatakan, aksi mitigasi juga masih enggan berpindah ke energi bersih dan mengandalkan teknologi penggunaan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage, CCS) pada PLTU batubara. Padahal, teknologi ini dianggap sebagai pembangkit berefisiensi tinggi dan emisi rendah (High Efficiency and Low Emissions, HELE) yang masih diragukan efektivitas dalam memangkas emisi gas rumah kaca.
Fabby mengatakan, aksi mitigasi ini kontradiksi dengan kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam Perpres 112/2022. Perpres ini mencakup rencana pengakhiran PLTU batubara dan pelarangan pembangunan PLTU baru, kecuali pada PLTU batubara untuk industri (captive).
"Untuk itu, pemerintah perlu memperjelas aksi mitigasi berbasis HELE ini, Khususnya menetapkan bahwa penerapan teknologi HELE ini harus sesuai dengan kelayakan dan hanya bisa dilakukan pada PLTU captive,” kata Fabby.
Ia menekankan agar rancangan SNDC memuat pula elemen rencana pensiun dini PLTU sesuai dengan peta jalan yang disusun oleh Kementerian ESDM. Selain itu, IESR juga mendorong komitmen yang serius dan rencana untuk meningkatkan bauran energi terbarukan menjadi hingga 45 persen pada 2030 agar sesuai dengan target di Persetujuan Paris.
Fabby mengingatkan sesuai kesepakatan COP-28 di Dubai, dunia harus meningkatkan kapasitas energi terbarukan global tiga kali lipat setara 11,5 TW dan melipatgandakan efisiensi energi pada 2030. Indonesia seharusnya ikut mendukung kesepakatan ini.
Koordinator Proyek Kebijakan Iklim IESR, Delima Ramadhani, mengungkapkan, SNDC juga harus adil, kredibel dan transparan. Rancangan SNDC akan memuat sub-bab transisi adil (just transition).
IESR memandang hal-hal yang harus masuk dalam sub bab tersebut di antaranya pelibatan masyarakat dalam dialog partisipatif, mengutamakan kesetaraan, kejelasan implementasi dalam bentuk ketersediaan jaringan pengaman sosial, dan dukungan bagi pekerja terdampak.
“Transisi yang adil perlu dimulai dengan mengakui adanya faktor-faktor seperti gender dan usia yang dapat menghalangi suatu kelompok berpartisipasi dengan adil," ujar Delima.