Mitsubishi UFJ Financial Group atau MUFG menargetkan dapat mencapai net zero emission pada 2050 atau dikenal sebagai target lingkup 3, mencakup emisi dari pembiayaan seluruh kliennya.
Head of ESG Finance APAC di MUFG Bank Ltd, Colin Chen, mengatakan bahwa Environmental, Social, and Governance (ESG) di Asia Pasifik mencakup sekitar 40% dari portofolio bisnis perusahaan. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana MUFG mengelola emisi yang terkait dengan pembiayaan hijau.
“Kami meminta perusahaan untuk mengurangi tidak hanya emisi mereka, tetapi juga untuk meningkatkan jumlah berkelanjutannya,” kata Chen dalam Media Briefing MUFG Net Zero World (N0W) 2024 di Jakarta, Rabu (3/9) kemarin.
Colin Chen menjelaskan bahwa MUFG awalnya menetapkan target pembiayaan berkelanjutan sebesar 25 triliun Yen, yang kemudian dinaikkan menjadi 35 triliun Yen. Selanjutnya, dalam Rencana Bisnis Jangka Menengah untuk tahun 2024–2026, target tersebut ditingkatkan lagi menjadi 100 triliun Yen, mencakup seluruh perusahaan dalam grup MUFG.
Chen juga mengatakan bahwa permintaan terhadap pinjaman berkelanjutan semakin meningkat karena banyak pihak yang mulai beralih ke jenis pinjaman ini. Ia menambahkan bahwa perbedaan antara pinjaman berkelanjutan dan pinjaman biasa semakin mengecil, dan pada akhirnya semua pinjaman akan memiliki aspek keberlanjutan.
Menurutnya, ini menunjukkan bahwa perusahaan semakin sadar dan mulai memasukkan aspek keberlanjutan dalam pembiayaan mereka dan itulah yang ingin didorong oleh MUFG.
“Setiap negara memiliki target nol bersih yang berbeda, yang saya hargai, tetapi setiap negara ingin mencapai nol bersih,” tambahnya.
Direktur Syariah & Sustainability Finance PT Bank Danamon Indonesia Tbk, Herry Hykmanto mengatakan bahwa di Jepang teknologi sudah sangat berperan dalam mencapai target keberlanjutan. Namun, hal yang paling penting untuk menuju ekonomi hijau adalah melalui proses transisi.
Menurutnya, Indonesia sangat beruntung karena mendapat dukungan dari Jepang dalam melakukan transisi yang merupakan hasil dari pertemuan G20 tahun 2022.
Lebih jauh, ia menyebut di Indonesia kondisinya masih lebih sederhana dan beragam, berbeda dengan Jepang yang menggunakan gas, sedikit batu bara, dan sumber energi lainnya. Sementara itu, Indonesia masih bergantung pada batu bara yang menjadi tantangan tersendiri dalam upaya transisi menuju energi bersih.
Herry menjelaskan pendekatan untuk mengimplementasikan solusi keberlanjutan di Indonesia dianggap lebih masuk akal dan dapat segera dilakukan. Salah satu contoh adalah popularitas kendaraan listrik (EV) yang semakin meningkat, didukung oleh ketersediaan komoditas dan proses hilirisasi serta adanya pabrik di Indonesia. Ia menilai konsumen di Indonesia mulai menyukai kendaraan listrik.
Meskipun situasinya agak berbeda, kata Herry, hal ini menjadi keuntungan bagi MUFG dan Danamon. Jika digabungkan, kolaborasi ini akan sangat menarik. Dari segi struktur, MUFG menyediakan dukungan, sedangkan Danamon bertanggung jawab atas implementasinya. Kombinasi ini diharapkan dapat menjadi solusi nyata untuk Indonesia dalam transisi menuju energi yang lebih bersih.