Kualitas Udara Jakarta Tak Sehat Sejak 7 Tahun Lalu, Biaya Medis Puluhan Triliun
Kualitas udara Jakarta rata-rata tidak sehat selama tujuh tahun terakhir dan menyebabkan biaya medis untuk penyakit pernafasan membengkak. Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menilai pasokan bahan bakar minyak (BBM) dengan standar Euro4 merupakan salah satu syarat utama untuk mengendalikan kualitas emisi yang bersumber dari kendaraan.
Direktur Eksekutif KPBB, Ahmad Safrudin, mengatakan emisi kendaraan yang menyebabkan pencemaran udara masih menjadi ancaman bagi banyak kota seperti Jakarta dan sekitarnya. Polusi udara menyebabkan dampak kesehatan terutama bagi anak-anak, menyedot biaya medis, memicu morbiditas (penyakit fisik dan mental), serta mengancam bonus demografi.
Data yang dihimpun KPBB dari 2017-2023 menunjukan rata-rata tahunan konsentrasi PM 2.5 berada pada level 38 hingga 46,1 µg/m3. Angka tersebut mencerminkan kategori kualitas udara tidak sehat.
"Kualitas udara buruk tersebut merupakan dampak emisi dari kendaraan bermotor, industri, pembakaran sampah terbuka, konstruksi gedung dan pembangkit listrik tenaga uap batu bara," ujar Safrudin dalam media gathering bertajuk "Gagal Lagi, BBM ramah lingkungan untuk Kendaraan EURO4", Rabu (11/9).
Kualitas udara yang buruk menyebabkan biaya medis tinggi. Berdasarkan data United Nation Environment Program pada 2016, biaya medis warga DKI Jakarta terkait kesehatan pernafasan mencapai Rp 51,2 triliun.
Biang Kerok Emisi
Berbagai studi menunjukkan bahwa kendaraan bermotor merupakan sumber emisi pencemaran udara terbesar di kawasan perkotaan.
Berdasarkan data KPBB 2019, beban emisi PM10 di Jabodetabek mencapai 14,88 juta ton per tahun. Emisi tersebut disumbang oleh sumber-sumber transportasi 47%, industri 20,24%, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara 1,76%, rumah tangga 11%, debu jalanan 11%, pembakaran sampah 5%, dan konstruksi bangunan 4%.
Sementara beban emisi PM2.5 mencapai 10,71 juta ton/tahun yang disumbangkan oleh sumber-sumber dari transportasi 57%, industri 21,16%, PLTU 2%, rumah tangga 7%, debu jalanan 5%, pembakaran sampah 5%, dan konstruksi bangunan 3%.
"Angka beban emisi ini akan naik terus," ujarnya.
Diperlukan BBM Rendah Sulfur
Safrudin mengatakan, sumber utama emisi pencemaran udara berasal dari kendaraan bermotor dengan bahan bakar fosil. Penggunaan BBM juga berdampak pada neraca perdagangan Indonesia.
Pasokan BBM nasional yang tidak mencukupi untuk kebutuhan BBM kendaraan bermotor mengharuskan kita impor bensin hingga 17,09 juta kilo liter per tahun dan solar 5,59 juta kilo liter per tahun pada 2023. Selain itu, produksi otomotif nasional yang berorientasi teknologi lama menjadikan industri otomotif nasional tidak konpetitif di pasar global.
Safrudin mengatakan, Indonesia masih menggunakan teknologi lama yaitu teknologi kendaraan di bawah Euro 4 standar. Teknologi tersebut sebenarnya sudah tidak diminati secara global karena terkait kepentingan pengendalian emisi. Selain itu, teknologi ini tidak diminati karena terbatasi oleh aturan perdagangan internasional yang rendah emisi.
Dia mengatakan, Indonesia perlu segera menerapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) No 20 tahun 2017 tentang baku mutu emisi gas buang kendaraan bermotor, termasuk dalam pengendalian emisi pencemaran udara. Oleh karena itu, penyediaan pasokan BBM rendah sulfur mutlak diperlukan karena memenuhi syarat teknologi seperti regulasi di atas.
"Kita berharap dan mendukung Pemerintah untuk konsisten memasok BBM yang memenuhi persyaratan teknologi kendaraan berstandar Euro 4 sebagai prasyarat pengendalian emisi pencemaran udara," ujar Safrudin.