Walhi dan Masyarakat Pesisir Tolak Ekspor Pasir Laut

ANTARA FOTO/Jojon/Spt.
Foto udara dua mesin pengisap menarik pasir laut di perairan lombe di Desa Wakeakea, Buton Tengah, Sulawesi Tenggara, Selasa (30/4/2024).
22/9/2024, 19.52 WIB

Masyarakat Pesisir dan Walhi menolak pertambangan dan ekspor pasir laut yang dilegalkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 20 Tahun 2024. Pertambangan dan ekspor pasir laut mengancam ekosistem perairan hingga sumber daya ekonomi masyarakat pesisir.

Direktur WALHI Sulawesi Selatan, Muhammad Al-Amin, mengatakan kebijakan Pemerintah untuk rencana ekspor pasir laut melalui PP No 26 tahun 2023 dan Permendag No. 20 Tahun 2024 mengenai pengelolaan hasil sedimentasi di laut merupakan keputusan yang sangat buruk . Hal itu hanya akan menimbulkan kerugian sangat besar bagi masyarakat pesisir.

Dia mengatakan, pertambangan pasir laut tidak memberikan keuntungan sedikit pun kepada masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Dia mencontohkan pertambangan pasir laut yang dilakukan sebuah perusahaan asing selama 257 hari di Pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan, telah menyebabkan nelayan kehilangan ekonomi sebesar Rp 80,4 miliar. 

Amin mengatakan, banyak nelayan Kodingareng telah meninggalkan pulau untuk mencari pekerjaan baru karena beban ekonomi yang sangat besar akibat kerusakan laut yang disebabkan oleh pertambangan pasir laut.

"Tak sedikit keluarga di sana memiliki utang yang sangat besar serta terpaksa menikahkan anaknya karena kesulitan ekonomi," ujarnya dikutip dari keterangan tertulis, Minggu (22/9).

Hal senada dikatakan salah satu perempuan nelayan dari Pulau Kodingareng, Sarinah. Dia mengatakan, pertambangan pasir laut ini sangat merugikan perekonomian masyarakat Kodingareng. Abrasi yang menghantam pulau sangat terasa sejak penambangan pasir dilakukan pada tahun 2020 lalu.

"Ikan di laut kami sudah tidak ada lagi. Lebih dari 50% nelayan sulit mendapatkan pemasukan," ujarnya.

Dampak serupa juga terjadi di Jawa Timur. Direktur WALHI Jawa Timur, Wahyu Eka Setiawan, mengatakan pertambangan pasir laut di wilayahnya sudah terjadi sejak 1996. Dampaknya telah menurunkan jumlah nelayan secara signifikan. Tak hanya itu, pertambangan pasir laut telah menyebabkan masyarakat kesulitan mendapatkan ikan laut.

"Dengan kata lain, pertambangan pasir laut telah memicu krisis ketersediaan ikan. Ini merupakan krisis pangan yang terjadi," ujarnya.

Wahyu juga menyoroti penggunaan istilah sedimentasi yang disampaikan oleh pemerintah merupakan bentuk greenwashing dan atau ocean grabbing. pertambangan pasir laut telah dan akan mengancam kedaulatan pangan laut yang selama ini menyuplai protein hewani dari ikan kepada masyarakat.