Indonesia Perlu Terapkan Batas Atas Perkebunan Kelapa Sawit

ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/Spt.
Foto udara Candi Teluk 2 yang lokasinya dikelilingi perkebunan kelapa sawit di Muaro Jambi, Jambi, Kamis (20/6/2024).
Penulis: Djati Waluyo
1/10/2024, 15.04 WIB

Aliansi masyarakat sipil yang terdiri atas tiga lembaga yang bergerak di bidang lingkungan dan pemerhati perkebunan kelapa sawit menilai, Indonesia harus menerapkan nilai batas atas (cap) tutupan perkebunan kelapa sawit. Batas atas tutupan perkebunan kelapa sawit itu bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Ketiga lembaga tersebut adalah Madani Berkelanjutan, Sawit Watch, dan Satya Bumi. Project Officer Satya Bumi, Riezcy Cecilia Dewi, mengatakan berdasarkan penelitian dengan menggunakan 14 variabel pembatas ditemukan bahwa batas atas tutupan perkebunan sawit berdasarkan perspektif daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (D3TLH) di Indonesia sebesar 18,15 juta hektare (ha).

Berdasarkan perhitungan tersebut, Satya Bumi menyatakan, luas lokasi tutupan sawit yang ada di Indonesia sampai dengan 2022 sudah melebihi dari batas atas yang telah dihitung.

"Tutupan sawit 2022 nyatanya telah melebihi cap sawit dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup," ujar Riezcy dalam Media Breafing Titik Nadir Batas Atas Sawit, di Jakarta, Selasa (1/10).

Angka tutupan sawit yang ada di Indonesia hingga 2022 telah mencapai 18,21 juta ha atau sudah melebihi angka batas atas tutupan sawit yang dihitung oleh ketiga lembaga di atas sebesar 18,15 juta ha.

Perkebunan Sawit di Sumatera dan Kalimantan Melampaui Batas Atas Tutupan 

Jika dirinci berdasarkan pulau di Indonesia, Sumatera dan Kalimantan menjadi wilayah dengan tutupan sawit yang melebihi perhitungan batas atas tutupan sawit. Riezcy menyebut, tutupan sawit di Sumatera pada 2022 mencapai 10,7 juta ha, lebih luas dibandingkan dengan batas atas yang ditetapkan sebesar 10,69 juta ha. Kalimantan mencatatkan tutupan sawit seluas 6,8 juta ha pada tahun 2022 atau lebih tinggi dari ambang batas atas sebesar 6,61 juta ha.

Beberapa pulau lainya, seperti Sulawesi mencatatkan tutupan sawit sebesar 473 ribu hektare pada 2022. Angka ini masih di bawah batas atas yang ditetapkan sebesar 483 ribu ha. Papua dengan tutupan sawit pada 2022 sebesar 290,6 ribu ha mendekati batas atas sebesar 290,8 ribu ha.

Untuk Pulau Jawa, tutupan kelapa sawit dan batas yang diperhitungkan menunjukkan angka yang sama, yaitu sebesar 38,6 ribu hektare. Data yang dihimpun ketiga lembaga tersebut menunjukkan bahwa 34% tutupan sawit pada 2022 berada di luar kesesuaian untuk lahan sawit.

"Paling banyak berada di Pulau Kalimantan. Bahkan, mencapai 50% dari tutupan sawit existing yang ada di sana," ujarnya.

Pembatasan Tutupan Perlu untuk Perbaiki Tata Niaga Industri Sawit

Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, mengatakan ada tiga hal yang menjadi pertimbangan di balik perlunya penerapan batas atas tutupan sawit. Pertama, ttelah terpenuhinya kebutuhan masyarakat untuk sawit. Jika merujuk pada hasil analisis, setiap pulau di Indonesia seperti Sumatera dan Kalimantan memiliki lahan sawit eksisting yang lebih luas dibandingkan dengan kebutuhannya.

"Penambahan kebun baru hanya menguntungkan pelaku usaha besar dan minim dampak pada masyarakat serta pemasukan negara," ujar Surambo dalam Media Breafing Titik Nadir Batas Atas Sawit, di Jakarta, Selasa (1/10).

Pertimbangan kedua adalah untuk mengupayakan pemulihan kondisi lingkungan guna mendukung pemenuhan kebutuhan mahkluk hidup dalam jangka waktu yang panjang. Pertimbangan ketiga, untuk memperbaiki tata kelola dan tata niaga industri sawit. Menurutnya, pemerintah bisa fokus dalam memperbaiki tata kelola dan niaga sawit dibandingkan dengan perluasan perkebunan sawit.

Untuk menerapkan ambang batas, pemerintah harus menghentikan pemberian izin baru dan pembukaan kebun sawit baru di seluruh Indonesia. 

"Evaluasi perizinan kebun sawit yang terindikasi bermasalah secara administrasi perizinan, tata ruang, dan legalitas lahan, serta menyelesaikan persoalan sawit dalam kawasan hutan," ujarnya.

Surambo juga meminta pemerintah menyelesaikan persoalan konflik lahan dan agraria di sektor sawit yang masih berlarut-larut, mengejar legalitas lahan kebun, baik pada industri maupun petani swadaya, dan mengejar pajak yang bocor di industri sawit.

Ia menilai pemerintah bisa mengoptimalkan pencapaian sertifikasi sawit berkelanjutan lewat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). Selain itu, memperbaiki sertifikasi Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) perkebunan sebagai bagian dari perbaikan tata niaga sawit secara keseluruhan,.

Reporter: Djati Waluyo