Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan kota penyumbang polusi terbesar di Indonesia terletak di daerah yang memiliki kepadatan lalu lintas tertinggi. Pasalnya, transportasi menjadi penyumbang utama penurunan kualitas udara di kota-kota besar di Indonesia.
"Kalau di indonesia, kota paling macet dimana Jakarta, Surabaya, Medan itu yang terburuk karena kontribusi paling banyak sesuai data itu transportasi," ujar Sekretaris Utama BMKG, Dwi Budi, saat ditemui di Kantor BMKG, Selasa (15/10).
Dwi mengatakan, kondisi tersebut terjadi karena kualitas bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia tidak ramah lingkungan. Pasalnya, dari beberapa produk BBM yang dijual oleh perusahaan pelat merah hanya beberapa yang memiliki kadar sulfur rendah.
Menurutnya, seharusnya Indonesia sudah menggunakan BBM dengan standar euro 4 atau dengan kadar sulfur dibawah 50 part per million (ppm). "Yang paling utama kualitas bahan bakar, pertamax green, pertamax turbo, dan pertadex yang sulfurnya dibawah 50 ppm dan yang lain diatas 500 ppm kan ini tidak benar, ini ngaruh banget," ujarnya.
Dwi mengatakan, menurunnya kualitas udara di Indonesia terjadi sejak adanya aktivitas manusia yang menghasilkan emisi seperti mobilitas kendaraan. Aktivitas industri yang menggunakan energi batu bara juga membuat kualitas udara semakin buruk.
Kendaraan Listrik Solusi Utama
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Rachmat Kaimuddin mengungkapkan, cara yang efektif untuk memperbaiki kualitas udara dengan meningkatkan kualitas Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia.
Hal itu dilakukan dengan mengurangi kandungan sulfur yang ada di dalam BBM. Pasalnya, sampai dengan saat ini mayoritas masyarakat di Indonesia mengonsumsi BBM dengan kandungan sulfur yang tinggi.
"Saat ini, kita udah mengidentifikasi masalahnya. Kita identifikasi, BBM ini perlu diperbaiki (kualitas)," ujar Rachmat dalam diskusi bertajuk "Tekan Emisi, Perbaiki Kualitas Udara: Kebijakan Baru Subsidi BBM" di Jakarta, Senin (5/8).
Menurut Rachmat, kendaraan listrik sebenarnya merupakan solusi utama untuk keluar dari efek polusi kendaraan bermotor. Namun, untuk beralih ke kendaraan listrik membutuhkan waktu yang cukup panjang.
Adopsi kendaraan listrik yang masif dilakukan Indonesia ternyata belum mampu mengimbangi populasi kendaraan berbasis BBM. Selain itu, ia melihat bahwa kebutuhan BBM akan terus naik sampai dengan tahun 2040.
"Karena kecil kan penjualannya, market share-nya EV ini, masih merangkak naikkan. Tahun lalu masih 1,7% dan tahun ini mungkin saya lagi data sama temen-temen bisa 5% kali," ujarnya.
Jika pangsa pasar kendaraan listrik pada 2030 bisa mencapai 50% dari penjualan mobil baru, namun angka itu itu masih kecil. Dengan angka tersebut, setidaknya baru mencapai 10% dari total kendaraan di Indonesia.