Sebanyak 50 ribu penduduk terdampak proyek Pembangunan Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi atau Food Estate Merauke di Provinsi Papua Selatan. Mereka terancam kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian.

Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante, mengatakan pembangunan yang masuk dalam proyek strategis nasional (PSN) tersebut akan berdampak pada lima distrik.

"Kami melakukan analisis tumpang tindih peta serta menggunakan data statistik BPS. Kami temukan di lima distrik ini yang jumlah penduduk aslinya mungkin lebih dari 50 ribu orang," ujar Franky dalam konferensi pers, di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, di Jakarta, Rabu (16/10).

Franky mengatakan, proyek Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) tersebut memberikan dampak terhadap lebih dari 40 kampung. Kawasan KSPP terdiri dari lima klaster dan tersebar di 13 wilayah distrik. Keseluruhan lokasi proyek food estate PSN Merauke berada pada wilayah adat masyarakat adat Malind, Maklew, Khimaima dan Yei.

Selain menggusur penduduk asli, proyek PSN Merauke dan bisnis ekstraksi sumber daya alam seluas lebih dua juta hektare tersebut dipastikan akan mendatangkan dan memobilisasi penduduk baru dari luar Tanah Papua. Hal ini mengancam terjadinya depopulasi dan marginalisasi penduduk asli Papua.

"Ini pada gilirannya menghilangkan identitas sosial budaya Orang Asli Papua dan tersingkir secara sosial ekonomi, yang disebut etnosida," ujarnya.

Franky mengatakan perusahaan yang mengelola lahan tersebut juga tidak menunjukan komitmen usaha berkelanjutan. Mereka tidak melakukan upaya mencegah deforestasi dan gagal menghormati hak-hak masyarakat adat.

Dia mengatakan perusahaan perusahaan perkebunan tebu dalam konsorsium Global Papua Abadi (GPA) Group menggunakan aparat keamanan dan orang tertentu yang melakukan tekanan terhadap masyarakat, merayu dan janji kompensasi uang, agar mau menyerahkan tanah.

Adapun, areal cetak sawah baru sejuta hektar dan perkebunan tebu perusahaan tersebut berlokasi pada kawasan hutan dan berada pada daerah moratorium izin atau Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIP1B).  Sebanyak 30 persen areal GPA Group atau sekitar 145.644 hektar berada di PIPIB,.

"Izin perusahaan GPA sebagian besar berada di wilayah adat masyarakat hukum adat Yeinan seluas 316,711 hektar dan beresiko secara sosial ekonomi dan budaya," ucapnya.

Franky mengatakan kebijakan dan pelaksanaan proyek food estate PSN Merauke cenderung tertutup dan tidak memberikan informasi yang jelas. Proyek tersebut tidak menghormati otoritas dan norma adat, serta tanpa ada kajian sosial dan lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam konstitusi dan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Penggusuran, penghancuran dan penghilangan hutan, dusun, rawa dan lahan gambut dalam skala luas akan meningkatkan krisis lingkungan, yang sedang menjadi sorotan masyarakat bumi," ujar Franky.

Sementara itu, Juru Bicara Solidaritas Merauke dan aktivis LBH Papua Pos Merauke, Teddy Wakum, mengatakan proyek PSN ini seharusnya dihentikan karena lebih banyak menyebabkan  kerugian dibandingkan keuntungan. Proses pembangunan PSN di Merauke telah melanggar konstitusi dan peraturan yang ada di Indonesia.

“Proyek PSN Merauke harus dihentikan karena melanggar konstitusi dan peraturan yang berkenaan dengan hak hidup, hak masyarakat adat, hak atas tanah, hak bebas berpendapat, hak atas pembangunan, hak atas pangan dan gizi, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta prinsip tujuan pembangunan berkelanjutan," ujar Teddy.

Reporter: Djati Waluyo