Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) meminta agar pemerintah menghentikan proses pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Food Estate Merauke di Papua Selatan. Pembangunan Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke tersebut dinilai melanggar konstitusi dan peraturan yang ada di Indonesia.
Aktivis LBH Papua Pos Merauke, Teddy Wakum, mengatakan PSN tersebut lebih banyak mendatangkan kerugian dibandingkan keuntungan. Proses pembangunan PSN di Merauke telah melanggar konstitusi dan peraturan yang ada di Indonesia.
“Proyek PSN Merauke harus dihentikan karena melanggar konstitusi dan peraturan yang berkenaan dengan hak hidup, hak masyarakat adat, hak atas tanah, hak bebas berpendapat, hak atas pembangunan, hak atas pangan dan gizi, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta prinsip tujuan pembangunan berkelanjutan," ujar Teddy dalam konfrensi pers, di Jakarta, Rabu (16/10).
Dia mengatakan, LBH Papua poros Merauke telah mendapatkan kuasa penuh dari empat marga untuk melaksanakan proses penolakan terhadap pembangunan PSN tersebut. Namun, pihaknya memilih tidak melaporkan tindakan yang dilakukan oleh perusahaan pemegang izin pengelolaan dan pengembangan wilayah PSN.
"Apabila kita mengambil langkah-langkah, misalkan pelaporan kemungkinan besar tidak begitu banyak ada dampaknya. Sedangkan keinginan kita adalah menghentikan proses PSN ini," ujarnya.
Dia mengatakan, LBH telah mendampingi masyarakat untuk dapat bertemu dengan beberapa pihak terkait seperti pemerintah daerah. Namun, ia menyayangkan proses pembangunan PSN di Merauke sangat tertutup kepada masyarakat asli Merauke. Masyarakat tidak mendapatkan informasi terkait adanya pembangunan PSN.
"Kita lakukan pendampingan ke bupati, masyarakat tidak mendapatkan informasi apa-apa, semua ini tertutup," ucapnya.
Sementara itu, tokoh agama dan pemilik tanah adat, Pius Manu, mengatakan proses pembangunan PSN di Merauke dilaksanakan secara brutal dan tanpa adanya sosialisasi dan persetujuan masyarakat. "Kendaraan excavator dan bulidozer perusahaan masuk ke wilayah adat kami, amuk, menggusur dan menghancurkan hutan alam, dusun dan rawa,” ujar Pinus.
Perwakilan masyarakat adat terdampak dari Kampung Wobikel, Distrik Iiwayab, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, Yasinta Gebze, mengatakan pengawalan masuknya kendaraan dan operasi penghancuran hutan untuk proyek cetak sawah baru dilaksanakan tanpa melihat adanya tanda adat larangan. Excavator proyek menabrak dan merobohkan sasi adat.
“Kami terluka dan berduka karena tanah dan hutan adat, tempat hidup binatang dan tempat sakral Alipinek yang kami lindungi, yang diwariskan oleh leluhur kami, dihancurkan tanpa tersisa," ujar Yasinta.