Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati memastikan sepanjang tahun 2025 tidak akan terjadi anomali iklim. Hal ini dikarenakan fenomena iklim El Nino-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) berada dalam kondisi netral sepanjang tahun 2025.
"Adapun kondisi La Nina lemah diprediksi akan terus terjadi hingga awal tahun 2025," ujar Dwikorita dalam keterangan tertulis, Selasa (5/11).
Sebagaimana diketahui, La Nina merupakan kejadian anomali iklim global yang ditandai dengan keadaan suhu permukaan laut atau sea surface temperature di Samudra Pasifik tropis bagian tengah dan timur yang lebih dingin dibandingkan suhu normalnya.
Dwikorita mengatakan, suhu udara permukaan rata-rata bulanan di wilayah Indonesia mulai Januari sampai dengan Desember 2025 diprediksi akan mengalami anomali berkisar antara plus 0,3 sampai dengan plus 0,6 °C pada Mei hingga Juli 2025 dengan rata-rata sebesar 0,4°C lebih hangat dibanding dengan normalnya.
Dwikorita mengungkapkan ada beberapa wilayah yang perlu diwaspadai mengalami anomali suhu tinggi, antara lain daerah-daerah yang terletak di Sumatera Bagian Selatan, Jawa, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.
"Berdasarkan kondisi dinamika atmosfer dan laut tersebut, BMKG memprediksi sebagian besar wilayah Indonesia pada tahun 2025 akan mengalami curah hujan tahunan pada kategori normal dengan jumlah curah hujan tahunan berkisar antara 1.000 - 5.000 mm/tahun," ujarnya.
Dari angka tersebut, sebanyak 67% wilayah Indonesia akan berpotensi mendapatkan curah hujan tahunan lebih dari 2.500 milimeter (MM) per tahun atau masuk dalam kategori tinggi.
Dwikorita merinci wilayah tersebut mencakup sebagian besar Aceh, sebagian Sumatera Utara, sebagian besar Sumatera Barat, sebagian Riau bagian barat, sebagian Jambi, sebagian besar Bengkulu, dan sebagian Sumatera Selatan. Selain itu, sebagian besar Kepulauan Bangka Belitung, sebagian Lampung bagian utara, sebagian Banten, sebagian Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah bagian barat. Kemudian, sebagian kecil Jawa Timur, sebagian besar Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi bagian tengah dan selatan, sebagian Bali, sebagian kecil Nusa Tenggara Timur, sebagian besar Kepulauan Maluku, dan sebagian besar Papua.
Sekitar 15% wilayah Indonesia diprediksi akan mengalami curah hujan atas normal yang meliputi sebagian kecil Pulau Sumatera, sebagian kecil Kalimantan Timur bagian timur, sebagian Sulawesi bagian tengah dan utara, dan sebagian kecil Sulawesi Selatan. Kemudian, sebagian kecil Sulawesi Tenggara, sebagian kecil Nusa Tenggara Timur, sebagian kecil Kepulauan Maluku, dan sebagian Papua bagian tengah.
Dwikorita menyebutkan ada 1% wilayah Indonesia yang diprediksi mengalami hujan tahunan di bawah normal. Wilayah tersebut adalah sebagian kecil Sumatera Selatan bagian barat, sebagian kecil Nusa Tenggara Timur, sebagian kecil Maluku Utara, sebagian Papua Barat bagian utara.
"Namun, juga perlu diwaspadai wilayah-wilayah yang akan mengalami kondisi hari tanpa hujan yang berkepanjangan terutama di Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur," ucapnya.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan, mengatakan dengan kondisi tersebut BMKG memberikan rekomendasi untuk sektor-sektor terkait atau terdampak oleh fenomena iklim tersebut.
Rekomendasi tersebut antara lain terkait curah hujan tahun 2025 yang mayoritas diprediksi mengalami kondisi curah hujan normal hingga atas normal. Alhasil, curah hujan ini sangat cocok untuk mendukung upaya meningkatkan produktivitas tanaman pangan di wilayah-wilayah sentra pangan.
Untuk perkecualian daerah sentra produksi pangan yang diprediksi mengalami hujan bawah normal, kata Ardhasena, masih dapat melakukan tindakan antisipasi penyesuaian pengelolaan aktivitas pertanian dengan penyesuaian pola tanam dan ketersediaan air. Daerah-daerah itu juga disarankan memilih bibit komoditas yang lebih sesuai dengan kondisi tersebut.
"Dengan upaya dukungan intensifikasi seperti irigasi dan upaya pendukung lainnya, wilayah sentra produksi pangan tersebut masih berpotensi menghasilkan produktivitas tanaman pangan yang baik," ujar Ardhasena.
Sedangkan untuk wilayah yang terdapat potensi jumlah curah hujan tahunan 2025 melebihi rata-ratanya atau di atas kondisi normalnya, perlu diantisipasi potensi kejadian hidrometeorologi ekstrem basah. Dampak turunan dari curah hujan yang di atas kondisi normal adalah banjir dan tanah longsor, khususnya pada puncak musim hujan.
Antisipasi Curah Hujan di Bawah Normal
Ardhasena mengatakan, langkah antisipatif juga diperlukan untuk wilayah yang berpotensi mengalami curah hujan di bawah normal yang dapat memicu kekeringan dan dampak lanjutannya berupa kebakaran hutan dan lahan, khususnya pada puncak musim kemarau.
Untuk itu, pemerintah perlu meningkatkan optimalisasi fungsi infrastruktur sumber daya air pada wilayah urban atau yang rentan terhadap banjir. Misalnya, menyiapkan kapasitas pada sistem drainase, sistem peresapan dan tampungan air, agar secara optimal dapat mencegah terjadinya banjir.
"Selain itu, juga perlu dipastikan kehandalan operasional waduk, embung, kolam retensi, dan penyimpanan air buatan lainnya untuk pengelolaan curah hujan tinggi saat musim hujan dan penggunaannya sumber daya air di saat musim kemarau," ujarnya.
Untuk mengantisipasi potensi dampak La Nina lemah pada awal tahun 2025, Ardhasena mengatakan, ada potensi penambahan curah hujan hingga 20% di atas normalnya yang dapat menyebabkan peningkatan frekuensi bencana hidrometeorologi.
Dengan demikian, kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah terkait perlu meningkatkan kewaspadaan dan kesiap-siagaan menghadapi potensi bencana tersebut.
Sementara itu, risiko kekeringan dan kebakaran hutan tetap harus diperhatikan pada musim kemarau, meskipun prediksi curah hujan cenderung di atas normal pada Juli-September 2025.
"Kewaspadaan ini tetap diperlukan mengingat data catatan bencana menunjukkan bahwa setiap tahun selalu terdapat kejadian kebakaran hutan dan lahan. Kewaspadaan juga diperlukan untuk antisipasi suhu udara yang mengalami kenaikan pada Mei-Juli 2025," kata Ardhasena.