Rencana Pemerintah Provinsi Jakarta menerbitkan aturan mengenai retribusi sampah rumah tangga yang berlaku mulai Januari 2025 mendapat sambutan hangat dari pelaku industri pengelola sampah. Retibusi diyakini akan menciptakan ekosistem pengelolaan sampah yang lebih baik.
Ernest Christian Layman, CEO Rekosistem, mengatakan selama ini masyarakat belum memahami pengelolaan sampah juga memerlukan biaya. Misalnya, untuk pengolahan sampah organik menjadi kompos dibutuhkan komposisi yang tepat agar proses pembuatan kompos itu tidak menimbulkan bau.
"Isunya menjadi isu lahan karena proses kompos butuh waktu 21-45 hari dan proses ini berpeluang menimbulkan bau ketika komposisi karbon dan nitrogen itu tidak pas. Nitrogen dihasilkan sisa makanan, karbon dari sampah kayu kering," ujar Ernest dalam podcast GreenTalks: Retribusi Sampah Jakarta, Bisa Selesaikan Masalah? yang ditayangkan di Youtube Katadata, Senin (11/11).
Komposisi yang tepat untuk menghasilkan kompos adalah dua bagian karbon (sampah kayu) dan satu bagian nitrogen (sisa makanan). Karena itu, Tempat Pembuangan Sampah (TPS) atau Tempat Pembuangan Akhir (TPA) lokasinya harus jauh dari permukiman agar tidak ada polusi udara yang mengganggu.
Ernest menilai rencana Pemprov DKI Jakarta menerapkan retribusi untuk pengelolaan sampah rumah tangga adalah kebijakan progresif. Kebijakan ini bisa menjadi disinsentif bagi rumah tangga yang tidak memilah sampah.
Torkis Tambunan, Fungsional Madya Pengendali Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, mengatakan aturan mengenai retribusi itu akan diterbitkan dalam Peraturan Gubernur. "Kami berharap pembiayaan retribusi itu akan dialokasikan kepada pemeliharaan operasional," ujar Torkis.
Menurutnya, masyarakat yang memilah sampahnya dengan baik, tidak akan dikenakan retribusi. "Ketika masyarakat mampu memilah sampah maka proses selanjutnya akan lebih mudah. Masyarakat bisa menentukan mana sampah yang didaur ulang, dimanfaatkan lebih lanjut atau menjadi residu," kata Torkis.
Pemprov Jakarta akan menyiapkan TPS 3R (Reduce, Reuse, Recycle) di 88 kecamatan untuk mendorong masyarakat memilah sampah. Sampah yang tidak bisa didaur ulang atau menjadi residu akan digunakan sebagai bahan baku RDF (refuse derived fuel), yang bisa menjadi bahan bakar pembangkit listrik.
Ernest mengungkapkan sampah anorganik yang bisa didaur ulang sekitar 30% dari total sampah yang masuk ke TPS atau TPA. Jika di Bantargebang ada 7.900 ton sampah yang masuk setiap hari, seharusnya ada sekitar 2.400 ton sampah anorganik yang sudah dipilah tetapi itu juga belum semuanya bisa terserap.
"Ini yang menjadi tantangan kenapa harus ada bank sampah. Harus ada dorongan agar permukiman melakukan pemilahan sampah dulu kemudian ke bank sampah," tutur Ernest.
Sampah yang masuk ke bank sampah pun belum semuanya bisa didaur ulang dengan optimal. Berdasarkan survei internal maupun survei komunitas yang dilakukan Rekosistem, sampah yang masuk ke bank sampah hanya bisa terserap 10%. "Padahal potensinya (sampah anorganik) bisa 30% dari total sampah," kata Ernest.
Ia juga mengungkapkan pengolahan residu menjadi RDF saat ini juga masih mahal. Itu sebabnya RDF menjadi bahan campuran (co-firing) untuk pembangkit listrik batu bara, misalnya. "Kalau dicampur betul, RDF ini kurang lebih kalorinya bisa sama seperti batu bara, bahkan bisa sedikit lebih murah," ujarnya.
Torkis menambahkan untuk mengelola volume sampah di TPA, DLH DKI akan menambah kapasitas RDF. Selain itu, DLH juga menggerakkan pembuatan kompos atau memanfaatkan sampah organik untuk budidaya maggot yang bisa digunakan untuk pakan ternak.
"Mengurai sampah organik yang paling berisiko tinggi karena ada gas metana di dalam sampah organik jadi harus diurai lebih dulu," ujar Torkis. Dana dari retribusi yang dipungut dari masyarakat itulah yang akan digunakan untuk penambahan fasilitas-fasilitas ini.