Liputan Khusus | Katadata Green COP29

Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Tagih Pendanaan Iklim yang Adil di COP29

ANTARA FOTO/Andika Wahyu/YU
Masyarakat Sipil Indonesia untuk COP29 Baku mendesak pemerintah Indonesia untuk menagih komitmen dari negara-negara maju untuk pembiayaan iklim.
Penulis: Hari Widowati
15/11/2024, 19.36 WIB

Masyarakat Sipil Indonesia untuk COP29 Baku mendesak pemerintah Indonesia untuk menagih komitmen dari negara-negara maju untuk pembiayaan iklim. Selama ini negara-negara maju berkontribusi terhadap 80% emisi historis global, sehingga mereka harus meningkatkan pendanaan iklim bagi negara miskin dan berkembang sesuai dengan polluters pay principle.

"Keterlambatan mobilisasi pendanaan ini akan semakin mengancam kesejahteraan kelompok rentan dan menjauhkan kita dari target membatasi kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius," kata Syaharani, Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim ICEL, dalam keterangan resmi, Jumat (15/11).

Berdasarkan Perjanjian Paris (2015), negara-negara maju dalam Annex I dan II wajib membayar pendanaan iklim sebagai bentuk prinsip Common But Differentiated Responsibility (CBDR). Banyak pihak berharap COP29 dapat menyepakati komitmen pendanaan yang mencakup tiga pilar aksi iklim, yakni mitigasi, adaptasi, serta kehilangan dan kerusakan (loss and damage) yang sesuai dengan kebutuhan global.

Konferensi Iklim PBB atau COP29 juga disebut sebagai COP Finance karena bahasan utamanya adalah mobilisasi pendanaan iklim. Salah satu target pendanaan baru dalam pertemuan itu adalah New Collective and Quantified Goal (NCQG).

Namun di awal pembahasan, draf ini sudah ditolak oleh negara-negara G77 karena dianggap belum sesuai harapan. Hal ini membuat komitmen mobilisasi pendanaan iklim masih jauh dari target pertemuan.

Menurut Syahrani, komitmen pendanaan menjadi persoalan yang pelik. Sejak 2009 melalui Copenhagen Accord, negara-negara maju bersepakat memberikan dana iklim kolektif senilai US$100 miliar (Rp 15,9 kuadriliun) per tahun untuk membantu negara-negara miskin dan berkembang.

Namun, komitmen tersebut sulit terealisasi karena sifat Accord yang tidak mengikat. Jumlah pendanaan iklim dalam kesepakatan itu juga masih jauh dari kebutuhan. Berdasarkan perhitungan terbaru, pendanan iklim setidaknya membutuhkan US$8 triliun (Rp 127,21 kuadriliun) per tahun hingga 2030.

"Pendanaan iklim bukan hanya soal mendapatkan uang, tetapi memastikan pendanaan yang adil," ujarnya. Saat ini hampir 90% pendanaan iklim global ditujukan untuk mitigasi. Padahal, kerugian ekonomi akibat perubahan iklim diproyeksikan akan mencapai US$447 miliar-US$894 per tahun pada 2030. Angka tersebut belum termasuk kerugian non-ekonomi.

Karena itu, Syahrani menyebut perlu alokasi pendanaan yang lebih besar bagi adaptasi dan loss and damage, mengingat program mitigasi di Indonesia cukup banyak. Penerapan co-firing Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan pembangunan energi terbarukan skala besar seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) justru menurunkan daya adaptif karena merusak ekosistem.

Pendanaan untuk Transisi Energi Kian Mendesak

Azis Kurniawan, Manager Policy Koaksi Indonesia, mengatakan negara-negara berkembang akan membutuhkan US$1,1 triliun setiap tahun untuk pendanaan iklim. "Pendanaan ini sangat krusial untuk mempercepat transisi energi terbarukan dan membantu negara berkembang menghadapi tantangan adaptasi, serta mitigasi krisis iklim yang semakin mendesak.

Eka Melisa, Direktur Tata Kelola Berkelanjutan-Perubahan Iklim, Kemitraan, mengatakan Indonesia perlu memperhatikan sumber dan jenis pendanaan iklim. "Sebagian besar pendanaan iklim yang akan dikucurkan di negara berkembang lebih banyak yang sifatnya konsesional atau loan," kata Eka. Karena itu, Indonesia perlu memperjuangkan indikator pendanaan berkelanjutan.

Sementara itu, Nadia Hadad, Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan, mengatakan sistem pendanaan yang adil dapat dirancang melalui reformasi arsitektur pendanaan global. Salah satunya dengan mengalihkan pendanaan global dari sektor-sektor yang intensif emisi ke sektor yang lebih hijau.

"Distribusi pendanaan yang adil harus berfokus kepada upaya perlindungan dan pemulihan ekosistem, restorasi lingkungan, serta bertransisi ke energi terbarukan," ujar Nadia. Indonesia harus memiliki mekanisme finansial untuk memastikan tidak ada penyaluran dana iklim dan lingkungan hidup bagi aktor-aktor yang merusak ekosistem dan kenanekaragaman hayati serta melanggar hak-hak asasi manusia.

Liputan khusus COP 29 Azerbaijan ini didukung oleh: