CISDI: Komitmen Iklim Calon Kepala Daerah Masih Terpaku pada Pembangunan Ekonomi

ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/agr
Petugas mengemas logistik Pilkada 2024 di gudang logistik KPU Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (18/11/2024). KPU Kota Bogor mulai melakukan pengepakan logistik untuk Pilkada 2024 yang dimasukkan kedalam 3.072 kotak suara dan akan didistribusikan ke 1.530 TPS yang tersebar di enam kecamatan se-Kota Bogor dengan target selesai pada 20 November.
21/11/2024, 20.30 WIB

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menilai pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 27 November mendatang menjadi momentum untuk menentukan pemimpin yang peduli dampak krisis iklim. Namun, komitmen calon kepala daerah dalam menangani krisis iklim masih terpaku pada pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan. 

"Padahal, pembangunan ekonomi mesti memperhatikan dampak lingkungan dan keadilan sosial bagi masyarakat," ujar Project Lead for Food Policy CISDI, Raisa Andriani, dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (21/11).

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam rangkaian Pilkada serentak telah mengarusutamakan isu krisis iklim, lingkungan hidup, hingga ketahanan pangan menjadi tema salah satu debat calon kepala daerah. Raisa mengatakan, kepala daerah yang berkomitmen terhadap penanggulangan krisis iklim sangat krusial mengingat dampaknya pada kualitas lingkungan, kehidupan sosial, ekonomi, hingga kesehatan.

Menurutnya, krisis iklim telah berdampak pada kesehatan masyarakat, serta menurunnya akses pada pangan sehat dan berkualitas.

"Dari sisi suplai, krisis iklim mempengaruhi siklus bercocok tanam dan panen para petani yang langsung berdampak pada kualitas dan kuantitas produksi sumber pangan lokal yang sehat,” ujarnya.

Raisa mengatakan krisis iklim telah menjadi masalah genting semua negara, termasuk Indonesia yang turut meratifikasi Paris Agreement pada 2016. Di banyak daerah, krisis iklim menurunkan produksi pertanian sehingga mengancam ketahanan pangan.

Berdasarkan penelitian Badan Pangan Dunia (FAO), produksi pertanian di Pulau Jawa diprediksi turun sebesar 5 persen pada 2025 dan penurunan 10 persen tahun 2050 karena krisis iklim.

Selain itu, komitmen pemerintah Indonesia dalam penanganan krisis iklim sekaligus penyediaan pangan berkualitas sebenarnya telah dituangkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2024-2045.

“Namun kami menilai implementasi RPJPN patut dikawal dan diintegrasikan hingga tingkat daerah lewat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD),” ucapnya.

Raisa mengatakan krisis iklim juga berpotensi mendorong masyarakat untuk mengakses pangan tidak sehat. Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia 2023 menyatakan orang mengakses pangan tidak sehat karena mudah didapat dan harganya terjangkau.

Pangan tidak sehat, seperti pangan ultra proses dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) lebih mudah diakses dan ditemui oleh masyarakat. Tingginya konsumsi pangan ultra proses dan MBDK bisa berkontribusi terhadap peningkatan berat badan dan berujung pada obesitas, kemudian meningkatkan risiko penyakit tidak menular (PTM).

Sementara itu, pemerintahan Prabowo berencana mengimplementasikan program makan bergizi gratis (MBG). Raisa mengatakan CISDI mendorong agar pemerintah daerah perlu memastikan pangan lokal tetap diprioritaskan dalam perencanaan menu program MBG.

Pemerintah daerah harus berani menolak potensi masuknya pangan tidak sehat dalam implementasi program MBG, seperti pangan ultra proses yang cenderung tinggi gula, garam, dan lemak (GGL) serta MBDK.

Menurut dia, diperlukan kolaborasi pemerintah pusat dan daerah untuk menghadapi tantangan ketahanan pangan, termasuk pemenuhan pangan sehat.

"Lokalitas menjadi aspek kunci demi terwujudnya rantai pasok pangan sehat yang berkelanjutan. Di sinilah kepala daerah memegang peran kunci untuk menyelesaikan persoalan iklim sekaligus tantangan ketahanan pangan," kata Raisa.

Reporter: Djati Waluyo