Indonesia Tunda Peluncuran Second NDC di COP29

ANTARA FOTO/Andika Wahyu/rwa.?
Utusan Khusus Presiden pada Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 (COP29 UNFCCC) Hashim Djojohadikusumo (tengah) didampingi Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni (kedua kiri), Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq (kedua kanan), Utusan Khusus Presiden Bidang Perdagangan Internasional dan Kerja Sama Multilateral Mari Elka Pangestu (kiri) dan Penanggung Jawab Paviliun Indonesia Agus Justianto (kanan) berfoto seusai pembukaan Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim (COP29 UNFCCC) di Baku, Azerba
21/11/2024, 16.47 WIB

Pemerintah Indonesia menunda peluncuran komitmen penurunan emisi karbon terbaru melalui dokumen Second Nationally Determined Contributions (NDC) pada konferensi perubahan iklim dunia atau COP29 yang sedang berlangsung di kota Baku, Azerbaijan.

Dokumen Second NDC, yang telah dipersiapkan sejak Februari 2024 lalu oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), seharusnya meluncur pada COP29 di Baku, Azerbaijan. Namun rencana tersebut ditunda, salah satunya karena perlu disesuaikan dengan target pertumbuhan ekonomi 8% dan arahan pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto.

Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL, Torry Kuswardono, mengingatkan agar dokumen Second NDC tersebut sebaiknya bisa lebih ambisius dari rancangan dokumen yang sebelumnya telah beredar. Dokumen SNDC yang ditargetkan akan diserahkan pada Februari tahun 2025, harus mencakup pemihakan yang jelas terhadap hak asasi manusia, hak masyarakat adat, dan transisi energi yang berkeadilan.

“Tidak cukup hanya menghormati masyarakat adat atas pengetahuan saja, tapi juga harus eksplisit menyebut hak tanah masyarakat adat karena pengetahuannya ada di alam dan tanahnya. Bukan di buku,” ujar Torry dalam keterangan tertulis, Kamis (21/11).

Forest Campaigner Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, mengatakan jika Indonesia mengumumkan SNDC pada perhelatan COP 29 akan memperjelas target dan kebutuhan pendanaan iklim Tanah Air. Kepemimpinan Indonesia sangat dibutuhkan sebagai negara yang rentan dan terdampak krisis iklim.

“Sayangnya, di COP 29 ini Indonesia malah sibuk mempromosikan potensi kredit karbon, yang bukan termasuk pendanaan iklim secara publik. Ruang fiskal Indonesia sempit jika berharap pada pendanaan karbon ini- dana tidak masuk ke publik, tapi lebih berat ke swasta,” ujar Iqbal.

Iqbal mengatakan, tanpa ada kesepakatan pada penurunan emisi, pasar karbon akan menjadi risiko memberikan hak berpolusi. Padahal Indonesia butuh pendanaan iklim besar-besaran untuk membangun pembangkit listrik energi terbarukan, dan memulihkan daerah-daerah yang telah terdampak bencana akibat krisis iklim.

Reporter: Djati Waluyo