Janji Baru Dana Iklim Ratusan Miliar Dolar Buat Patah Hati Negara Berkembang
Konferensi PBB di bidang iklim COP29 akhirnya ditutup dengan negara maju menyepakati kenaikan tiga kali lipat target dana tanggung jawab iklimnya untuk negara berkembang alias NCQG. Dana ini untuk membiayai transisi energi hingga menghadapi perubahan iklim.
Negara maju berjanji menggelontorkan US$ 300 miliar atau sekitar Rp 4.700 triliun per tahun pada 2035 alias satu dekade lagi, naik dari saat ini US$100 miliar. Dana ditargetkan mencapai US$ 1,3 triliun per tahun pada 2035, dengan memperhitungkan dana dari instansi swasta.
Kesepakatan ini di bawah ekspektasi. Negara berkembang, lembaga non-profit dan komunitas dari berbagai negara meminta target setidaknya mencapai triliun bukan miliar dolar, dalam bentuk hibah bukan utang, dan segera bukan satu dekade lagi. Ini sebagai tanggung jawab negara maju yang adalah kontributor terbesar bagi polusi dan perubahan iklim.
Berdasarkan perhitungan ahli independen, negara berkembang saat ini membutuhkan tambahan dana US$ 1,3 triliun per tahun dari dunia internasional. Ini untuk mendukung aksi iklim yang lebih agresif guna menahan kenaikan suhu bumi maksimal 1,5 derajat celcius di atas era pra-industri.
Kesepakatan dana dicapai melalui proses tarik-ulur, dengan rumor adanya nego-nego “balik pintu” antara negara maju dengan negara eksportir migas. Konferensi semula dijadwalkan berakhir pada Jumat 22, November, namun baru selesai pada Minggu, 24 November dini hari.
Negara-negara Berkembang Kecewa
Perwakilan dari India hingga Panama menyampaikan kekecewaannya. “Menurut pendapat kami, ini tidak akan menjawab besarnya tantangan yang kita hadapi,” ujar negosiator India Chandni Raina, usai kesepakatan disahkan.
Raina mengkritik tajam proses pengambilan keputusan yang tertutup, bertolak belakang dengan semangat kolaborasi untuk mengatasi masalah iklim. Perwakilan Panama Juan Carlos Monterrey Gómez juga mengkritik hal yang sama. “Hati kami bersama negara-negara yang merasa seperti telah dilangkahi,” ujarnya. Sebelumnya, Juan menekankan kesepakatan dana ini penting karena menyangkut nyawa penduduk negara pulau-pulau kecil.
Adapun perwakilan negara-negara maju sempat menuntut agar negara-negara kaya seperti Cina dan Saudi Arabia juga dikategorikan sebagai negara maju dalam perjanjian iklim sehingga memiliki tanggung jawab yang sama dalam penyediaan dana iklim. Namun, tuntutan ini kandas.
“Ini perjalanan yang sulit, tapi kita telah mencapai kesepakatan. Target baru pendanaan ini adalah jaminan untuk kemanusiaan di tengah dampak iklim yang memukul berbagai negara,” ujar Sekretaris Eksekutif PBB di Bidang Perubahan Iklim Simon Stiell. “Tidak ada negara yang mendapatkan semua yang diinginkannya, dan kita meninggalkan Baku dengan segunung pekerjaan,” kata dia.
Selain target baru dana iklim dari negara maju ke negara berkembang yang juga dikenal dengan NCQG, konferensi COP29 juga menghasilkan kesepakatan terkait operasional pasar karbon global yang dikelola PBB.
Kesepakatan-kesepakatan ini dicapai di tengah perkembangan iklim yang semakin mengkhawatirkan. Berbarengan dengan penyelenggaraan COP29, World Meteorological Organization merilis “red alert” alias peringatan soal temperatur bumi yang kembali mencetak rekor terpanas pada 2024. Temperatur bumi pada Januari-September 2024 tercatat 1,54 derajat celcius di atas era pra-industri atau menembus target ideal sesuai Kesepakatan Paris atau Paris Agreement. Tahun 2015-2024 disebut sebagai dekade terpanas.
Saat ini, negara-negara tengah didorong untuk membuat NDC baru yang lebih ambisius. Ini sejalan dengan kebutuhan memangkas emisi gas rumah kaca secara lebih agresif untuk pengendalian suhu bumi. Namun, dengan kesepakatan dana yang di bawah harapan, sulit untuk mengharapkan perubahan signifikan dalam NDC terbaru negara-negara berkembang.
Janji US$20 Miliar untuk Indonesia Masih Buram
Indonesia membutuhkan dana US$247 miliar atau lebih dari Rp 3.400 triliun untuk menjalankan rencana aksi 2018-2030 guna menahan produksi gas rumah kaca sesuai target nasional atau National Determined Contribution (NDC). Namun, APBN hanya mampu mendanai sekitar 30 persennya.
Mobilisasi dana murah dari negara mitra dan instansi keuangan internasional di bawah payung Just Energy Transition Partnership (JETP) sempat diharapkan bisa menjadi solusi pendanaan murah. Namun, janji mobilisasi dana untuk tahap awal yang sekitar US$ 20 miliar masih tidak jelas realisasinya. Pemerintah Indonesia mengharapkan setengahnya berbentuk hibah dan pinjaman berbunga ringan.
Mengutip pernyataan Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Eniya Listiani Dewi realisasi baru US$ 500 juta atau sekitar Rp 7,7 triliun dan bentuknya pinjaman komersil. Ini untuk proyek pembangkit listrik energi panas bumi milik Medco Power. “Direct ke industri,” kata dia saat menjadi pembicara dalam diskusi di Paviliun Indonesia dalam gelaran COP29.
Di tengah situasi ini, Indonesia menjajaki cara-cara baru untuk pendanaan aksi iklim. Ini termasuk menjajaki dana dari perdagangan kredit karbon. Indonesia juga menjajaki kerja sama bilateral proyek hijau dengan skema pembagian kredit karbon.
Liputan khusus COP 29 Azerbaijan ini didukung oleh: