30 Organisasi Iklim RI: COP29 Gagal Hasilkan Keputusan untuk Cegah Krisis Iklim
Tiga puluh organisasi masyarakat sipil Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (Aruki) menilai Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 (COP-29) gagal menghasilkan keputusan untuk mencegah perluasan dampak buruk krisis iklim.
Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono, mengatakan ambisi penurunan emisi global jauh dari harapan, komitmen pendanaan iklim negara maju tak kunjung terealisasi. Selain itu, kesepakatan pasar karbon juga berpotensi memperparah ancaman kerusakan dan kehilangan akibat krisis iklim bagi negara berkembang, pesisir dan pulau-pulau kecil serta kelompok rentan.
"Hasil COP-29 menunjukan negara-negara maju telah gagal merevisi target pengurangan emisi," ujar Torry dalam keterangan tertulis, Selasa (3/12).
Torry mengatakan, tidak ada satupun negara maju yang menjadi pionir untuk memimpin penurunan emisi yang lebih cepat. Kondisi tersebut berisiko meningkatkan kenaikan suhu bumi rata-rata melebihi 1,5 derajat celcius.
Berdasarkan laporan The Carbon Majors Database 2024, laju emisi bahan bakar fosil justeru semakin tak terkendali. sejak Perjanjian Paris ditetapkan. Secara historis, 78 entitas perusahaan bertanggung jawab atas pelepasan 70% total emisi CO2 global.
Adapun, entitas perusahaan didominasi oleh negara-negara produsen di Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia dan Timur Tengah.
Melangkah Mundur
Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim ICEL, Syaharani, mengatakan pelepasan emisi global dikontribusikan secara tidak proporsional oleh sejumlah emitter, yang mengeskalasi pemanasan suhu global bumi. Dengan begitu, mereka mendapat keuntungan ekonomi berlipat, sementara bumi dan miliaran manusia harus menanggung ancaman dan dampak terberatnya.
Namun, sayangnya Cop-29 justru menegaskan hutang ekologis negara-negara maju dan korporasi dalam reparasi iklim, dengan mengabaikan transisi ambisius bahan bakar fosil dan alokasi pendanaan iklim berkeadilan bagi negara-negara berkembang.
Syaharani mengatakan, perundingan program kerja mitigasi di COP 29 mengalami kemunduran dibandingkan COP 28. Pasalnya, komitmen untuk beralih dari bahan bakar fosil dihilangkan sementara bahan bakar fosil justru mendapat tempat
"Situasi ini membuka peluang bagi perkembangan teknologi solusi sesat, mengancam investasi dan pemborosan dana publik yang seharausnya dialokasikan untuk transisi energi yang berkeadilan," ujar syaharani.
Kegagalan pendanaan iklim yang berkeadilan telah memperlebar kesenjangan dan membahayakan kelompok rentan. Syaharani mengatakan, janji negera maju untuk menyediakan dana iklim sebesar US$ 300 miliar dari sumber publik masih jauh dari kebutuhan sebenarnya sebesar US$ 2,5 triliun.
"Target US$ 1.3 triliun yang diharapkan tercapai pada tahun 2035 pun berpontensi menjadi beban utang bagi negara-negara miskin dan berkembang," ucapnya.