Ekolog: Keanekaragaman Hayati Hutan Aceh Bernilai Ekonomi Rp 12 T per Tahun

ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/aww.
Seekor owa putih atau juga dikenal dengan sebutan owa ungko (Hylobates agilis) yang telah dilepasliarkan ke alam liar oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam berada di atas pohon kawasan hutan Aceh Jaya, Aceh, Minggu (7/6/2020).
4/12/2024, 13.44 WIB

Ekolog dan Konservasionis dari New Zealand, Mike Griffiths, menyatakan bahwa keanekaragaman hayati hutan Aceh memiliki nilai ekonomi yang sangat besar hingga mencapai Rp 12 triliun per tahun. Sebaliknya, kerugian jika semua hutan dataran rendah hilang bisa mencapai Rp 3,8 triliun per tahun.

Pernyataan itu disampaikan Mike Griffiths saat menjadi pembicara tamu pada seminar Internasional Pekan Raya Leuser di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Mike mengatakan, hutan Aceh terutama di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya dibandingkan hutan di negara lain seperti Amerika. Berdasarkan temuannya, setiap hektare hutan di KEL terdapat 300 spesies pohon dan 40.000 lebih spesies jenis serangga, mulai dari berukuran kecil hingga besar.

“Ini baru per hektare, kalau hutan di negara lain seperti Amerika, mungkin per hektarenya hanya terdapat sekitar belasan pohon dan serangga,” ujarnya dikutip dari Antara, Rabu (4/12).

Dirinya menggarisbawahi bahwa hutan Aceh adalah salah satu aset terpenting yang sangat berpotensi untuk pembangunan ekonomi. Besarnya potensi tersebut dapat dirasakan jika kelestarian hutan tetap terjaga.

"Keanekaragaman hayati ini adalah anugerah yang luar biasa. Jika dikelola dengan baik, Aceh bisa menjadi contoh global dalam konservasi dan pemanfaatan ekonomi hutan," katanya.

Terancam Pembalakan Liar

Namun, Mike menyayangkan potensi besar ini belum sepenuhnya disadari oleh Pemerintah Aceh. Ia juga menyoroti berkurangnya tutupan hutan Aceh akibat fragmentasi pembangunan jalan di kawasan hutan yang turut mengancam keberlangsungan hidup satwa-satwa kecil dan berkontribusi pada kepunahan.

“Ketika dibangun jalan, maka akan muncul perkebunan, permukiman, dan mudahnya terjadi pembalakan liar atau ilegal logging. Ketika adanya fragmentasi tersebut, maka satwa-satwa kecil akan punah,” kata Mike Griffiths.

Sementara itu, Senior Advisor Forum Konservasi Leuser, Rudi Putra, menyampaikan, aktivitas perambahan hutan masih terus berlangsung di KEL. Dalam 53 tahun terakhir, kehilangan hutan di Leuser mencapai seluas 423.524 hektare.

“Ini setara dua kali luas Kabupaten Aceh Tamiang dan enam kali luas Singapura,” kata Rudi.

Senada dengan Mike, Rudi berpendapat bahwa kehilangan tutupan hutan di kawasan Leuser disebabkan pembangunan jalan yang memicu aktivitas deforestasi dan perburuan satwa liar.

“Musuh besar konservasionis adalah pembukaan lahan yang mempermudah perambah mengakses hutan sekaligus berburu satwa yang dilindungi,” katanya.

Dirinya juga menuturkan, kehilangan tutupan hutan ini telah berdampak besar terhadap lingkungan dan masyarakat. Artinya, ikut berkontribusi pada meningkatnya intensitas banjir.

“Dampak kehilangan hutan membuat banjir terjadi lebih sering. Aceh tidak akan bisa maju jika banjir terus terjadi, karena biaya pemulihan jauh lebih besar. Akibatnya, banyak penduduk jatuh ke jurang kemiskinan. Berapa banyak orang yang menjadi miskin karena bencana,” ujarnya.

Dalam kesempatan ini, Rudi juga mengingatkan pemerintah terhadap pentingnya menjaga kelestarian Leuser, karena hutan itu dapat menjadi kunci kesejahteraan masyarakat Aceh.

“Leuser adalah harapan terakhir untuk konservasi. Dengan hutan yang masih luas ini, kita yakin masyarakat dapat sejahtera,” demikian Rudi Putra.

Reporter: Antara