Perluasan Lahan Sawit Ancam Ekosistem Gambut yang Jadi Penyerap Karbon Alami

ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/aww.
Sejumlah perempuan memanen bibit mangrove untuk ditanam di Pasekan, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (4/12/2024). Badan Retorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mencatat restorasi mangrove hingga Desember 2024 baru mencapai 150 ribu hektare atau 25 persen dari target yang ditetapkan sebesar 600 ribu hektare.
7/1/2025, 18.40 WIB

Perluasan lahan sawit akan mengancam lahan gambut yang berkontribusi sebagai penyerap emisi karbon alami. Padahal, luas ekosistem gambut Indonesia mencapai 24,66 juta ha, salah satu yang terluas di dunia.

Hal itu dikatakan Policy Strategist CERAH, Sartika Nur Shalati, menanggapi pernyataan Presiden Prabowo tentang perluasan lahan sawit tidak akan menyebabkan deforestasi. Dia mengatakan, deforestasi bukan sekadar hilangnya hutan dan naiknya emisi, lingkungan Indonesia juga akan semakin rusak.

“Pernyataan Presiden Prabowo yang menyebutkan sawit tidak akan menyebabkan deforestasi adalah pernyataan yang keliru, karena sawit bersifat monokultur yang akan menghancur kan fungsi hutan sebagai ekosistem alami bagi keanekaragaman hayati, merusak tanah, dan sistem hidrologi,” kata Sartika.

Menurut dia, perluasan lahan sawit di wilayah gambut akan membuat gambut kering. Hal itu meningkatkan potensi terjadinya kebakaran pada musim kemarau.

Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani, mengatakan rencana perluasan lahan sawit 20 juta hektare jauh lebih besar dari yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 7/2021. Beleid ini mengalokasikan 12,8 juta ha hutan produksi konversi (HPK) sebagai cadangan energi dan pangan.

Padahal, pembukaan hutan alam seluas 4,5 juta ha saja untuk lahan energi atau pangan, akan melepaskan sebesar 2,59 miliar ton emisi karbon.

 “Ini menunjukkan betapa pemerintah tidak punya komitmen reforestasi dan rehabilitasi hutan alam," ujarnya.

Dia mengatakan, ancaman krisis iklim membuat Indonesia tidak seharusnya melakukan deforestasi. KEmenterian Kehutanan seharusnya memiliki pekerjaan untuk fokus menjaga hutan.

"Jangan bicara soal perluasan sawit tidak akan menimbulkan deforestasi, kalau tata batas dan tata kelola kawasan hutan kita belum beres,” tuturnya.

Amalya menambahkan, kebijakan energi Indonesia yang mendorong bioenergi juga turut berkontribusi pada perluasan lahan sawit. Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN), Indonesia mendorong pemanfaatan bioenergi sebagai energi terbarukan utama hingga 2040.

Kemudian, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim COP29, Indonesia juga menyatakan akan meningkatkan campuran biodiesel hingga 50% (B50). Namun, langkah ini justru bertentangan dengan cita-cita transisi energi untuk menurunkan emisi.

 “Emisi dari pembukaan hutan belum lagi ditambah emisi dari pembakaran sawit, baik sebagai biofuel di transportasi maupun biomassa di kelistrikan, akan memperparah krisis iklim. Di sektor energi, pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan bioenergi, terutama dari bahan baku sawit dan kayu,” tegas Amalya.