Keadilan Iklim Butuh Dukungan Keadilan Sosial-Ekonomi dan Agraria

Dok. LaporIklim
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menilai ketimpangan sosial yang semakin melebar memperparah krisis iklim.
Penulis: Hari Widowati
18/9/2025, 14.51 WIB

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menilai ketimpangan sosial yang semakin melebar memperparah krisis iklim. Salah satu LSM tersebut, Trend Asia, menilai keadilan iklim tidak akan tercapai jika tidak didukung keadilan sosial-ekonomi dan agraria.

Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, mengaitkan isu ketimpangan dengan krisis ekologis global. "Kita hidup di era kapitalisme, enam dari sembilan batas planet sudah dilewati: iklim, sistem lahan, biodiversitas, hingga air. Krisis ini saling berkaitan dan dalam hal iklim, makin sering melahirkan bencana hidrometeorologis," ujar Ashov dalam diskusi Reformasi Fiskal dan Keadilan Ekonomi dalam Menghadapi Ketimpangan, di Jakarta, Rabu (17/9).

Ia menyebut masyarakat yang paling terdampak oleh bencana iklim adalah masyarakat yang ada di lapisan bawah. Karena itu, ia menegaskan keadilan iklim tidak mungkin dicapai tanpa keadilan sosial-ekonomi dan agraria.

"Contoh paling jelas di Jakarta, udara tercemar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, menunjukkan bagaimana rakyat dibebani dengan biaya kesehatan, sementara negara tak kunjung melakukan koreksi serius," ujarnya.

Ia mengingatkan agar kebijakan publik tidak lagi menjadikan kepentingan umum sebagai dalih untuk menggusur lahan masyarakat, lahan produktif atau mengabaikan hak rakyat kecil demi proyek strategis nasional.

Ia juga menekankan pajak kekayaan bagi kelompok ultra-rich (sangat kaya) dan pajak polusi perlu diberlakukan. "Kita harus berani mengurangi dominasi oligarkan dan kroni kapitalisme," kata dia.

Eksklusi Politik

Tata Mutasya, Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN), menambahkan dimensi eksklusi politik di mana masyarakat dikecualikan dari proses politik dan ekonomi menambah kompleksitas masalah iklim.

"Gejala eksklusi semakin kuat. Masyarakat merasa tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, sementara kebijakan seringkali tertutup dan tidak responsif," kata Tata.

Eksklusi politik menimbulkan keresahan sosial yang berpotensi mengganggu stabilitas. Tata menyebut Indonesia menghadapi trilema. Pertumbuhan ekonomi penting tetapi harus diikuti penciptaan lapangan kerja formal yang aman dan berkeadilan.

Pada saat yang sama, kebijakan pemerintah tidak boleh mengorbankan kelestarian lingkungan. "Jika salah satu aspek diabaikan, ketimpangan dan krisis ekologis akan semakin memburuk," ujar Tata.

SUSTAIN menawarkan solusi yang mencakup peningkatan pungutan produksi batu bara, program cash for work termasuk proyek hijau, insentif industri hijau seperti kendaraan listrik, panel surya, dan baterai, serta penguatan demokrasi ekonomi.

Ia mengatakan, untuk mengatasi persoalan ketimpangan dan eksklusi, diperlukan keberanian politik dari pemerintah baru. "Presiden Prabowo perlu membuka ruang seluas-luasnya untuk kritik, masukan, dan saran. Tanpa itu, kita akan sulit mengoreksi arah kebijakan agar lebih berpihak kepada rakyat," tuturnya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.