Implementasi Diragukan, Aktivis Kritik Dokumen Second NDC Pemerintah
Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia yang diserahkan kepada Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) menuai kritik dari para aktivis lingkungan dan organisasi non-pemerintah.
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudistira meragukan implementasi dokumen tersebut. Menurutnya, penyelenggaraan COP30 yang dilaksanakan di Brasil, tidak lebih dari negosiasi antarnegara dalam mempromosikan hutan, energi, dan sumber daya alam kepada perusahaan penghasil emisi.
“Hal ini dibuktikan dengan berbagai solusi yang tidak berkelanjutan yang diinisiasi melalui program Prabowo dalam menekan laju emisi. Misalnya, skema pasar karbon. Ini bukan solusi mengurangi emisi, melainkan perilaku dan kebijakan pemerintah yang memberikan ruang pada sektor penghasil emisi tinggi,” kata Bhima, Kamis (20/11).
Bhima juga menyebut, tidak adanya komitmen pensiun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dan coal phase out dalam Second NDC turut menjadi sorotan. Bhima mengatakan dampak emisi karbon 20 PLTU paling berisiko untuk target iklim Indonesia.
“Selain emisi karbon, polutan PM2.5 ikut menambah risiko beban ekonomi. Kerugian dari sisi kesehatan akan mencapai Rp 1.813 triliun,” kata dia.
Beban ekonomi juga akan ditanggung oleh petani dan nelayan, “Emisi karbon dari 20 PLTU paling toxic akan menyebabkan kerugian pendapatan masyarakat hingga Rp 48, 4 triliun per tahunnya. Hingga saat ini, tidak ada komitmen pemerintah untuk mempercepat pensiun PLTU batu bara,” kata Bhima.
Ekosistem Gambut Terancam
Manajer Riset Pantau Gambut, Syafiq Gumilang, mengatakan ekosistem gambut malah tidak menjadi perhatian pemerintah dalam SNDC. Padahal, sebagian besar emisi (63%) disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan dan kebakaran gambut serta hutan, lalu pembakaran bahan bakar fosil berkontribusi sekitar 19% dari total emisi.
Laporan inventarisasi gas rumah kaca dalam Biennale Update Report (BUR) ketiga menunjukkan peningkatan emisi menjadi 1,845 GtCO2e, yang didominasi oleh emisi dari perubahan penggunakan lahan dan kehutanan (LUCF), termasuk kebakaran gambut (50,13%) diikuti oleh energi (34,49%), limbah (6,52%), dan proses industri dan penggunaan produk atau IPPU (3,15%).
“Meskipun SNDC memuat target ambisius, termasuk restorasi lahan gambut sekitar 2 juta hektare dan rehabilitasi seluas 8,3 juta hektare dalam pengurangan emisi melalui rewetting dan revegetasi, kebijakan nasional lainnya justru menimbulkan ancaman serius terhadap keberlangsungan ekosistem gambut,” kata Syafiq.
SNDC, lanjutnya, telah mencantumkan aksi mitigasi seperti moratorium izin baru untuk konversi hutan primer serta target restorasi lahan gambut seluas sekitar 2 juta hektare.
“Situasi ini paradoks dengan realita yang terjadi, ini dibuktikan dengan banyaknya proyek pembangunan yang mengubah area esensial skala luas termasuk ekosistem gambut. Sedangkan sumber emisi di sektor FOLU lahir atas praktik deforestasi, kebakaran, dan alih fungsi lahan. Rata-rata kontribusi per tahunnya FOLU (51,5%), transportasi (12,5%), listrik dan panas (11,4%),” ucapnya.
Syafiq juga menyebut pemerintah Indonesia dengan serius melakukan moratorium permanen industri ekstraktif dan perkebunan yang telah nyata merusak ekosistem gambut.
“Dalam analisis kami, 3,3 juta hektare luas perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan, 407.267 hektare berada di Kesatuan Hidrologis Gambut. Sebanyak 72% masuk dalam kategori rentan terbakar dengan tingkat sedang, sedangkan sebesar 27% dalam kategori rentan terbakar tingkat tinggi,” ucap Syafiq.
Ancaman di Sektor Laut
Tidak jauh berbeda dengan ancaman di sektor gambut, sektor laut juga jarang diperhatikan. Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan KIARA, Erwin Suryana mengungkapkan ancaman yang serius.
“Sektor kelautan masih minim dibahas meski diakui strategi melalui blue carbon, konservasi laut, dan blue economy,” katanya.
Padahal, SNDC adalah pelemparan tanggung jawab dari perusahaan penyumbang emisi agar diadopsi oleh negara untuk ditanggulangi dampaknya. Selain itu, terdapat asimetri kekuasaan dalam tata kelola laut.
“Negara sebagai fasilitator pasar karbon laut, korporasi sebagai pendana proyek konservasi laut, dan nelayan sebagai objek yang tidak memiliki kepastian dan sangat rentan terhadap dampaknya,” kata Erwin.
Ia menambahkan, ancaman bagi laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sangat masif terjadi. Sebagai contoh, hasil tangkapan nelayan menurun akibat tambang nikel di pulau kecil, sedimentasi merusak padang lamun dan terumbu karang.
“Ambisi pertumbuhan ekonomi yang disampaikan melalui SNDC akan sulit terwujud jika pemerintah Indonesia masih belum menjadikan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sebagai sektor utama yang harus dilindungi,” ujarnya.