ICEL Minta Pemerintah Lakukan Langkah Korektif Perbaiki Tata Kelola Hutan

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nz
Warga korban bencana banjir dan tanah longsor berjalan untuk mengambil bantuan di Kelurahan Huta Nabolon, Kecamatan Tukka,Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Minggu (7/12/2025).
8/12/2025, 15.53 WIB

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) meminta pemerintah memperbaiki tata kelola hutan pasca banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.   

Darurat bencana di tiga provinsi ini telah menimbulkan kerugian masif memutus jalur transportasi, memaksa ribuan warga mengungsi, dan meninggalkan korban jiwa. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Senin (8/12) pukul 15.45 WIB,  jumlah korban meninggal telah mencapai 945 jiwa, korban hilang 234 jiwa, sementara 5 ribu jiwa lainnya luka-luka.

“Kami memandang bahwa bencana hidrometeorologis yang melanda tiga provinsi tersebut merupakan akumulasi dari kerusakan hutan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan cuaca ekstrem,” kata Kepala Divisi Hutan dan Keanekaragaman Hayati Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Difa Shafira, Senin (8/12).

Data Global Forest Watch (2001–2024) menunjukkan hilangnya hutan primer basah dalam skala besar di tiga provinsi terdampak: Aceh kehilangan sekitar 320 ribu hektare, Sumatra Barat sekitar 320 ribu hektare, dan Sumatra Utara mencapai 390 ribu hektare. 

Difa mengatakan, pemanfaatan dan alih fungsi hutan yang tidak mempertimbangkan daya dukung–daya tampung lingkungan telah memperburuk kerentanan ekosistem.

“Berkurangnya tutupan hutan, khususnya di wilayah hulu, menyebabkan kemampuan tanah menyerap air menurun drastis sehingga hujan lebat langsung berubah menjadi limpasan permukaan yang memicu banjir bandang dan longsor,” kata dia.

Kondisi ekosistem yang sudah rentan kemudian dihadapkan dengan hujan berintensitas ekstrem akibat Siklon Tropis Senyar di Aceh dan Sumatra Utara, serta sedang hingga lebat di sebagian Sumatra Barat.

Memperkuat Mitigasi dan Adaptasi terhadap Perubahan Iklim

Peningkatan suhu bumi akan meningkatkan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem, yang pada akhirnya memperbesar risiko bencana hidrometeorologis. Oleh karena itu, kemampuan mitigasi dan adaptasi Indonesia perlu diperkuat secara signifikan.

Difa menilai fenomena banjir dan longsor di Sumatera membutuhkan respons yang komperehensif dari Pemerintah melalui percepatan rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan kritis, evaluasi menyeluruh terhadap perizinan di sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan, serta penegakan hukum terhadap pelaku perusakan.

“Moratorium perizinan baru pun menjadi langkah penting untuk menjaga hutan alam yang tersisa.” ujar Difa.

Lebih lanjut, dia menegaskan perlunya peninjauan rencana tata ruang wilayah untuk memastikan kesesuaian dengan daya dukung dan daya tampung serta pengawasan pemanfaatan ruang pun menjadi langkah konkret.

“Pemerintah perlu melakukan serangkaian langkah korektif perbaikan tata kelola hutan untuk meningkatkan resiliensi terhadap cuaca ekstrem akibat krisis iklim,” tuturnya. 

Dalam hal ini, ICEL memberikan rekomendasi sebagai berikut kepada pemerintah:

• Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh perizinan di sektor kehutanan, perkebunan skala besar pertambangan, serta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai kebijakan korektif dengan mempertimbangkan daya dukung–daya tampung lingkungan dan tingkat kerentanan bencana. Izin yang melanggar atau merusak lingkungan harus dicabut.

• Menerapkan moratorium perizinan baru di sektor kehutanan, pertambangan, dan perkebunan skala besar yang berpotensi menambah beban ekologis dan meningkatkan risiko bencana.

• Memperkuat penegakan hukum yang berorientasi pada pemulihan fungsi kawasan hutan dan ekosistem, termasuk penindakan praktik ilegal serta pemulihan DAS dan ekosistem kritis.

• Menyusun kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berbasis data dan analisis risiko, dengan prioritas perlindungan kelompok paling rentan terhadap dampak banjir, longsor, dan cuaca ekstrem.

• Memperbaiki tata kelola kehutanan secara komprehensif, termasuk mendorong pembaruan kebijakan dan peraturan di bidang kehutanan.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Nuzulia Nur Rahmah