Manfaatkan Teknologi Nuklir, BRIN Pantau Mikroplastik di Laut

Vecteezy.com/Khatawut Chaemchamras
Ilustrasi mikroplastik yang ditemukan di pantai.
23/12/2025, 12.36 WIB

Mikroplastik telah lama menjadi isu lingkungan global. Partikel plastik berukuran kurang dari lima milimeter ini kini ditemukan hampir di seluruh ekosistem laut, mulai dari perairan pesisir hingga laut lepas.

Namun, di balik banyaknya publikasi ilmiah tentang mikroplastik, masih tersisa satu persoalan mendasar, yakni bagaimana membandingkan data antarnegara secara adil dan setara.

Celah inilah yang coba diisi oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui keterlibatannya dalam program Nuclear Technology for Controlling Plastic Pollution (NUTEC Plastics) yang diinisiasi Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).

Melalui program ini, Indonesia menjadi salah satu dari lebih dari 100 negara yang berpartisipasi dalam upaya pemantauan mikroplastik laut berbasis protokol global.

Dalam kerangka NUTEC, terdapat dua proyek utama yang relevan. Pertama, proyek regional Asia Pasifik (RAS 7038) yang berfokus pada pemantauan mikroplastik di lingkungan laut. Kedua, proyek global (INT 7021) yang bertujuan membangun basis data mikroplastik pesisir dunia. Indonesia terlibat aktif dalam keduanya.

Meskipun NUTEC identik dengan teknologi nuklir, fase awal pemantauan mikroplastik laut ini belum menggunakan teknik nuklir. Fokus utama saat ini adalah memastikan seluruh negara peserta menggunakan metodologi sampling dan analisis yang sama, sehingga data yang dihasilkan dapat dibandingkan lintas wilayah dan lintas negara.

“Selama ini, riset mikroplastik sudah banyak dilakukan, termasuk di Indonesia. Tapi metodenya beragam. Kalau protokolnya tidak seragam, data akan bias dan sulit dibandingkan,” ujar Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Teknologi Proses Radiasi BRIN, Ali Arman, Selasa (23/12).

Karena itu, IAEA terlebih dahulu menyusun protokol baku, mulai dari teknik pengambilan sampel pasir pantai dan air laut, hingga metode analisis polimer menggunakan instrumen non-nuklir seperti ATR-FTIR (Attenuated Total Reflectance–Fourier Transform Infrared).

Indonesia baru mulai melakukan sampling pada 2024, setelah protokol tersebut disepakati dan peneliti mendapatkan pelatihan resmi. Lokasi awal meliputi kawasan pesisir Lampung, serta beberapa titik lain seperti kawasan wisata, wilayah industri, dan daerah dengan tekanan aktivitas manusia yang berbeda. Data yang dikumpulkan kemudian diunggah ke platform global IAEA bernama IRIS, yang nantinya dapat diakses publik.

Ali menjelaskan peran teknologi nuklir baru akan masuk pada Fase II (2026–2029), ketika fokus riset tidak lagi sekadar memetakan konsentrasi mikroplastik, tetapi juga menelusuri sejarah pencemarannya.

Pada fase ini, teknik nuklir seperti penentuan umur sedimen menggunakan radioisotop timbal-210 (Pb-210) akan mulai dimanfaatkan. Metode ini memungkinkan peneliti merekonstruksi sejarah pencemaran mikroplastik di sedimen laut hingga sekitar 150 tahun ke belakang.

Dengan menganalisis lapisan sedimen secara berurutan, peneliti dapat mengetahui sejak kapan mikroplastik mulai terakumulasi serta bagaimana perubahannya dari waktu ke waktu. “Teknologi nuklir berperan untuk melihat dimensi waktu, yakni kapan pencemaran itu mulai terjadi dan bagaimana trennya,” ungkap Ali.

Kajian Mikroplastik pada Biota Laut dan Manusia

BRIN juga melakukan kajian mikroplastik dari sisi biota laut dan potensi risikonya bagi manusia. Perspektif ini dikaji oleh Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Teknologi Radioisotop, Radiofarmaka, dan Biodosimetri BRIN, Heny Suseno, melalui pemanfaatan teknologi nuklir sebagai alat perunut mikroplastik di dalam organisme hidup. 

Heny menjelaskan mikroplastik tidak berhenti di lingkungan perairan, tetapi dapat masuk ke dalam rantai makanan. Plastik yang terdegradasi menjadi mikroplastik dapat terbawa ke sungai dan laut, kemudian dimakan plankton, terakumulasi pada ikan dan biota laut lainnya, hingga akhirnya berpotensi masuk ke tubuh manusia melalui konsumsi pangan laut.

“Inilah yang menjadi latar belakang riset kami, yaitu melihat bagaimana mikroplastik terakumulasi dan berpindah di dalam tubuh biota,” jelasnya.

Dalam risetnya, Heny dan tim mengembangkan pendekatan nuklir dengan melabeli mikroplastik menggunakan radioisotop iodium-131 (I-131). Mikroplastik berlabel ini kemudian dimasukkan ke dalam media air laut bersama biota hidup, seperti ikan bandeng atau kerang.

Pergerakan dan akumulasi mikroplastik di dalam tubuh organisme dipantau secara berkala menggunakan spektrometer gamma, tanpa harus mematikan hewan uji.

“Keunggulan teknologi nuklir adalah kita bisa menganalisis biota dalam keadaan hidup. Setelah diukur, biota bisa dikembalikan lagi dan diamati terus sampai percobaan selesai,” ujar Heny.

Pendekatan ini memungkinkan peneliti menghitung faktor bioakumulasi serta waktu tinggal biologis mikroplastik di dalam tubuh biota, informasi yang sulit diperoleh dengan metode konvensional.

Tak hanya itu, teknologi nuklir juga memungkinkan pemetaan distribusi mikroplastik di organ tertentu, seperti insang, sehingga memberikan gambaran lebih detail tentang interaksi mikroplastik dengan sistem biologis. Dengan data tersebut, peneliti dapat memperkirakan potensi paparan mikroplastik pada manusia berdasarkan pola konsumsi ikan.

Dengan menggabungkan pemantauan lingkungan, rekonstruksi sejarah pencemaran, serta kajian bioakumulasi pada biota, BRIN membangun pendekatan komprehensif dalam memahami persoalan mikroplastik laut.

“Teknologi nuklir hadir bukan untuk menggantikan metode konvensional, melainkan untuk melengkapinya, terutama dalam memahami jejak waktu pencemaran dan risikonya bagi kehidupan manusia,” ujarnya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Nuzulia Nur Rahmah