Indonesia membutuhkan investasi sekitar Rp 200 triliun per tahun untuk mengejar target baruan Energi Baru Terbarukan sebesar 23% di 2025. Dari nilai investasi tersebut, sekitar 80% mengandalkan dana dari pihak swasta.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyampaikan perkiraan kebutuhan investasi ini mengacu pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) hingga 2025 sekitar Rp 1.000 triliun. "Artinya setiap tahun butuh Rp 150 triliun- 200 triliun," kata Fabby dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (24/1).
Fabby menyebutkan dari kebutuhan investasi Rp 200 triliun per tahun, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hanya menyerap 20%. Sehingga masih membutuhkan keterlibatan investor swasta untuk menutupi kekurangan tersebut. "Kekurangannya sekitar 80% membutuhkan investor swasta," ujar dia.
(Baca: Pemerintah Bakal Terbitkan Perpres Feed In Tariff untuk Pembangkit EBT)
Sebelumnya Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi menyebutkan kebutuhan nilai investasi beberapa proyek EBT.
Nilai investasi tersebut yakni PLT Panas Bumi sebesar US$ 17,45 miliar, PLT Air atau Mikrohidro senilai US$ 14,58 miliar, PLT Surya dan PLT Bayu senilai US$ 1,69 miliar, PLT Sampah senilai US$ 1,6 miliar, PLT Bioenergi senilai US$ 1,37 miliar dan PLT Hybird sebesar US$ 0,26 miliar.
Jumlah rincian investasi PLT EBT tersebut, disesuaikan RUPTL 2019 - 2025. "(RUPTL) ini mengacu pada asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5% per tahun sampai 2020 dan 6,5% pada 2025," ujar Agung.
Menurut Agung, angka investasi ini secara tidak langsung memberi dampak pada peningkatan kapasitas bauran pembangkit EBT di Indonesia menjadi 24.074 Mega Watt (MW) pada 2025 dari 10.335 MW di 2019.
Perkiraan selama lima tahun ke depan, kapasitas terpasang pembangkit EBT sebesar 11.256 MW pada 2020, 12.887 pada 2021, 14.064 MW pada 2022 dan 2023 menjadi 15.184 MW dan 17.421 MW pada 2024.
(Baca: Kementerian ESDM Gandeng Denmark Kembangkan Potensi EBT yang Ekonomis)