Debat Kedua, Jokowi dan Prabowo Diminta Paparkan Strategi Dorong EBT

ANTARA FOTO/Abriawan Abhe
Pembangkit Listirk Tenaga Bayu (PLTB) di Desa Mattirotasi, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, Selasa (28/11). Kedua calon presiden diharapkan memiliki program untuk mendorong energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
16/2/2019, 06.00 WIB

Kedua calon presiden, yakni Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto diharapkan memaparkan strategi mereka untuk meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT) dalam Debat Capres putaran kedua. Strategi tersebut penting untuk mendorong kemandirian dan ketahanan energi nasional.

"Bagaimana capres mendorong EBT, kalau kita bicara energi, ini mutlak diharuskan," kata Direktur Eksekutif Center of Reform of Economic (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, di Jakarta, Jumat (15/2).

Menurut Faisal, peningkatan EBT perlu dilakukan karena bauran energi nasional masih didominasi oleh minyak sebesar 38%. Padahal, lifting minyak di Indonesia semakin turun dari tahun ke tahun.

Di sisi lain, tingkat konsumsi energi terus meningkat. Sebanyak 47% konsumsi energi ini digunakan untuk transportasi. "Gap antara produksi dan konsumsi makin lama makin lebar," kata Faisal.

Faisal mengatakan, peningkatan EBT dalam bauran energi nasional saat ini masih cukup lambat. Porsi EBT dalam bauran energi nasional hanya 11%. Padahal, Indonesia menargetkan EBT dalam bauran energi nasional sebesar 23%.

Faisal mengatakan, hambatan peningkatan EBT salah satunya berasal dari sisi investasi. Sebab, masih ada berbagai kebijakan pemerintah yang belum jelas dan tidak konsisten.

Dia mencontohkan hal ini terlihat dari persoalan penentuan lahan dan harga untuk EBT. Atas dasar itu, berbagai masalah itu perlu dicarikan jalan keluarnya.

"Karena yang lain akan habis, utamanya minyak. EBT ini masa depan kita. Potensi kita sangat banyak dan eksekusi kita sangat lamban," kata Faisal.

Selain peningkatan EBT, Faisal menilai isu yang harus dibahas dalam debat dari para capres terkait pembangunan kilang minyak. Faisal menilai pembangunan kilang minyak saat ini stagnan.

Ini terjadi lantaran lambatnya realisasi investasi dalam pembangunan kilang minyak. Karenanya, Faisal menilai perlu suatu langkah untuk mempercepat realisasi investasi tersebut. "Sebagai bagian dari perdebatan, tentu saja perlu dipikirkan bagaimana produksi minyak ini dinaikkan," kata Faisal.

(Baca: Delapan Pekerjaan Rumah Calon Presiden di Sektor Energi Terbarukan)

Masukan untuk RUU EBT

Sebelumnya, para Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) memberikan masukan kepada pemerintah untuk Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT). Untuk mengembangkan EBT, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mulai dari insentif hingga pembentukan badan khusus.

Ketua Umum METI Surya Darma mengatakan, insentif itu diberikan jika harga keekonomian tidak terpenuhi. “Dalam rangka percepatan pengembangan energi terbarukan, pemerintah harus menyediakan insentif,” ujarnya kepada Katadata, Rabu (30/1).

Insentif yang bisa diberikan pemerintah bisa berupa kemudahan dan percepatan perizinan untuk pembangkit listrik dan fasilitas bahan bakar berbasis energi terbarukan. Selain itu, harga energi harus menarik sesuai harga keekonomian.

Ketiga, insentif harga energi untuk listrik perdesaan berbasis energi terbarukan terutama di daerah tetinggal, terdepan, dan terluar. Keempat, pengurangan pajak penghasilan Badan Usaha untuk jangka waktu tertentu (tax holiday). Kelima, penghapusan bea masuk untuk mesin dan suku cadang.

Keenam, penghapusan PPN atas jasa yang disediakan oleh kontraktor dan konsultan untuk pembangunan energi terbarukan. Ketujuh, pengurangan pajak untuk teknologi energi terbarukan yang diproduksi di Indonesia atau jenis insentif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan lainnya.

(Baca: PLN Tambah Pembangkit Energi Terbarukan 736 MW Tahun Ini)

Reporter: Dimas Jarot Bayu