Indonesia memiliki potensi energi baru dan terbarukan (EBT) yang cukup besar. Sumber – sumber EBT di Indonesia yang mencakup panas bumi, air dan mikro-mini hydro, bio energi, surya, angin dan arus laut mampu memproduksi 431 giga watt (GW) listrik.
Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan Hidup, Halim Kalla. Meski demikian, potensi energi baru dan terbarukan (EBT) yang dimiliki Indonesia belum digarap dengan baik lantaran terkendala regulasi dan investasi.
"Sayangnya pemanfaatannya masih terbatas," ungkap Halim pada Selasa (26/11/2019).
Menurut Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI) yang dikeluarkan oleh EY, peringkat daya tarik investasi EBT Indonesia berada di peringkat bawah dari 40 negara yang dikaji. Pada Oktober 2019 lalu, peringkat RECAI Indonesia berada di rangking 38, di bawah Thailand, Filipina, dan Vietnam.
Dibandingkan energi lainnya, perkembangan bauran EBT relatif kecil. Data dari dewan energi nasional tahun 2019 menyebutkan bauran pembangkit listrik EBT baru mencapai angka 12,36 persen.
Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Arifin Tasrif menyebutkan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih berada di angka 8 persen dari total potensi keseluruhan yang mencapai 400 GW, sedangkan penggunaannya masih sekitar 32 GW saja. Arifin menyatakan jumlah itu masih sangat kecil sehingga diperlukan perencanaan khusus untuk mengoptimalkan potensi tersebut.
"Tentu kita harus membuat suatu perencanaan bagaimana bisa mengoptimalkan energi terbarukan semaksimal mungkin," kata Arifin dalam pembukaan pameran EBTKE ConEX 2019 di Jakarta International Expo, Rabu (06/11/2019).
Sumber: ESDM
Guna meningkatkan realisasi energi panas bumi, pemerintah melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menetapkan target pengembangan energi tersebut sebesar 7.242 MW pada 2025 mendatang.
Belum Dimanfaatkan Secara Optimal
Energi panas bumi atau geothermal berasal dari panas di dalam bumi yang keberadaannya berkaitan erat dengan posisi Indonesia di kerangka tektonik dunia. Umumnya, energi ini dapat dimanfaatkan menjadi energi listrik maupun menjadi energi panas untuk keperluan pemanasan kolam renang, pengeringan hasil pertanian dan lain – lain.
Energi geothermal juga lebih ramah lingkungan karena hanya menghasilkan sedikit emisi dibanding energi non EBT lainnya. Emisi yang dihasilkan energi geothermal hanya 1/10 dari emisi pembangkit genset yang berbahan bakar solar. Bahkan, emisi energi panas bumi hanya 1/15 dari emisi pembangkit tenaga uap yang berbahan bakar batubara. Emisi CO2 energi panas bumi hanya 75 gram per kWh lebih rendah dibanding dengan BBM yang 10 kali lipat lebih tinggi yaitu 772 gram per kWh.
Selain itu, Pembangkit Litstrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) juga jauh lebih efisien karena dapat beroperasi hingga 90 persen dari kapasitasnya dengan waktu operasi hingga 30 tahun. Sedangkan pembangkit listrik batubara hanya berkapasitas 30-80 persen dengan usia peralatan yang mencapai 10 – 20 tahun.
Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati menyebut Indonesia masih menyimpan potensi sumber cadangan panas bumi sekitar 28 gigawatt (GW) hingga 30 GW, sedangkan 1.877 megawatt (MW) dari potensi tersebut dikelola oleh pertamina.
"Dari 1877 MW, ada yang dioperasikan sendiri sebesar 572 MW dan sisanya ini kami operasikan bersama dengan pihak lain," jelas Nicke pada Selasa (25/2/2020).
Selain itu, 40 persen cadangan geothermal dunia berada di Tanah Air sehingga Indonesia menjadi negara ke dua dengan potensi panas bumi terbesar di dunia. Adapun kapasitas terpasangnya mencapai 1.400 MW. Amerika Serikat menjadi negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia yang angkanya mencapai 30 ribu MW, sedangkan kapasitas terpasangnya sebesar 3.400 MW.
Sumber: databoks
Bila ditinjau dari munculnya panas bumi di permukaan per satuan luas, Indonesia menempati urutan keempat dunia. Masyarakat Energi Baru Terbarukan Indonesia (METI) menyebutkan, Indonesia memiliki potensi 312 lapangan panas bumi. Dari jumlah tersebut, baru 70 lapangan yang menjadi Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP). Sisanya bisa dikembangkan menjadi sumber energi terbarukan.
Berdasarkan data terbaru dari Direktorat Panas Bumi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi tercatat sumber daya panas bumi yang termanfaatkan baru mencapai 1.948,5 MW yang terdiri dari 13 PLTP pada 11 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP).
Pemanfaatan tersebut angkanya baru mencapai 6,6 persen dari potensi yang ada. Padahal, bila dimanfaatkan secara optimal panas bumi dapat menjadi salah satu solusi utama dalam mengatasi penggunaan BBM yang sekitar 50 persennya berasal dari impor.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menambahkan bahwa kebijakan dan regulasi yang tidak konsisten menjadi salah satu hambatan pengembangan panas bumi.
"Opsi pembiayaan yang terbatas serta proses perijinan terkadang menghambat. Padahal panas bumi merupakan salah satu jenis energi terbarukan dengan tingkat risiko yang sangat besar dan kebijakan pemerintah ikut andil dalam lambannya pengembangan energi ini," kata Fabby kepada Bisnis, Selasa (18/02/2020).