Pemerintah akan menerbitkan peraturan presiden (Perpres) pembelian harga listrik energi baru terbarukan (EBT). Aturan ini juga akan berisi berbagai insentif untuk pelaku usaha sektor ini, termasuk keringangan pajak.
Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ida Nuryatin Finahari menyebut penerbitan Perpres itu sebagai langkah mengakselerasi transisi dari energi fosil ke energi ramah lingkungan. “Sekarang (aturannya) sedang harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,” katanya, Rabu (9/9), dalam acara Digital Indonesia International Geothermal Convention (DIGC).
Beberapa insentif yang diterima pelaku industri antara lain pembebasan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan barang mewah pada kegiatan impor. Insentif tambahan diberikan kepada sektor energi panas bumi atau geothermal, yakni keringanan pajak bumi dan bangunan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif sehari sebelumnya menyebut terbitnya Perpres tersebut bakal menjadi pelengkap untuk menjamin kepastian hukum bagi investor. Salah satu sektor EBT yang sedang dikebut pemerintah adalah geothermal.
Sektor ini, menurut Arifin, punya masa depan yang cerah untuk kemandirian energi Indonesia sehingga pengembangannya harus dikebut. “Di antaranya dengan terus memberikan inovasi dengan peraturan yang pasti,” katanya.
Pengembangan panas bumi atau geothermal saat ini memang masih terbuka lebar. Dari potensi 23,9 Giga Watt (GW), pemanfaatannya baru 8,9%.
Masalah Tarif Listrik Panas Bumi
Kehadiran Perpres tersebut sangat dinantikan oleh pelaku industri. Ketua Asosiasi Panas Bumi Prijandaru Effendi mengatakan, upaya pemerintah ini patut diacungi jempol. “Semoga bisa memberi jawaban dari hambatan-hambatan di sektor ini sejak dulu,” katanya kepada Katadata.co.id.
Kinerja sektor panas bumi Indonesia memang belum terlalu menggembirakan. Masalah utamanya berhulu dari tarif listrik panas bumi yang belum kompetitif. Terdapat ketimpangan harga antara energi panas bumi dan fosil.
Proyek skala besar sekali pun, tarif idealnya US$ 10-12 cen per kilo Watt hour. Sementara, harga pembangkit batu bara US$ 9 sen per kilo Watt hour. Perbedaan angka itu yang membuat harga jual panas bumi tidak terjangkau PLN, pemegang kendali listrik di Indonesia.
Harga panas bumi, menurut Prijandaru, baru bisa kompetitif bila pemerintah memasukan aspek kelestarian lingkungan. Misalnya, dalam regulasi baru nanti seharusnya ada aturan soal pajak karbon atau carbon tax. Dengan begitu, harga energi geothermal bisa lebih kompetitif dengan batu bara.
Sebagai perbandingan, sejak 2010 India mematok pajak karbon sebesar US$ 1,07 per ton batu bara. Negara ini bahkan memiliki emisi per kapita yang empat kali lebih rendah dibanding Indonesia.
Apabila Indonesia memasang pajak karbon, pemerintah bisa memasang tarif di bawah harga internasional dengan rentang US$ 5 sampai US$40 per ton karbon. Penerapan pajak karbon ini juga akan mengeskalasi target pengurangan emsisi yang tertuang dalam Kesepakatan Paris. Dalam kesepakatan itu, Indonesia berkomtimen mengurangi gas rumah tangga sebesar 29% secara mandiri dan 41% dengan bantuan pihak eksternal pada 2030.
Tarif harga energi panas bumi, menurut Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2008, ditetapkan melalui sistem tender panas bumi. Dalam aturan ini termaktub skema penawaran Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) oleh PLN. Pagu tender panas bumi akan dihitung berdasarkan persentase biaya yang dikeluarkan untuk pembangkit listrik PLN, atau Biaya Pokok Penyediaan (BPP).
Proyek dengan kapasitas antara 10-55 Mega Watt (MW), harga plafonnya 85% dari BPP pada tegangan tinggi atau tegangan sedang dari sistem listrik lokal. Adapun proyek yang memiliki kapasitas di atas 55 MW, harga plafonnya adalah 80% dari BPP pada tegangan tinggi dari sistem listrik lokal.
Skema ini hanya membuka kemungkinan penawar harga terendah saja yang akan menjadi pemenang. Karena itu, banyak yang menyebut peraturan tersebut tidak menyelesaikan masalah tarif panas bumi karena harga tertinggi yang ditetapkan belum dilirik PLN sebagai single buyer.
Sebagai acuan, tarif tertinggi panas bumi untuk Indonesia bagian barat adalah sekitar US$ 5-7 sen kWh, sedangkan untuk bagian timur Indonesia dapat mencapai US$ 23 sen kWh. “Perhitungannya harus memasukan faktor lingkungan dalam ekonomi di sektor panas bumi ini. Dengan begitu, panas bumi bisa bersaing dengan energi fosil,” ujar Prijandaru.
Upaya Kurangi Risiko Ekspolorasi
Masalah lain yang diharapkan bisa terurai dengan Perpres baru ini ialah soal eksplorasi panas bumi. Prijandaru menyebut, pemerintah harus bisa memberikan kepastian regulasi yang mendorong pengembang berinvestasi di wilayah Indonesia.
Pelaku usaha tidak berharap pemerintah turun tangan dalam menangani biaya eksplorasi. Yang lebih penting adalah adanya regulasi yang bisa menjamin pengembang untuk menemukan sumber energi baru hingga ke tahap eksploitasi.
Indonesia punya tiga tahapan dalam pencarian sumber energi geothermal sebelum bisa dieksploitasi pengembang. Ketiganya adalah penugasan survei pendahuluan (PSP) yang dilakukan oleh lembaga penelitian dan universitas; penugasan survei pendahuluan dan eksplorasi (PSPE) oleh pengembang; dan proses tender terbuka.
Bila pengembang menemukan sumber energi baru, maka ia wajib melaporkannya ke pemerintah. Selanjutnya, pemerintah yang bakal menggelar tender terbuka. Di bagian inilah Prijandaru menilai pemerintah hanya ‘berbagai senang saja’. Sebab, pengembang belum tentu dapat berpartisipasi mengekpolitasi sumber panas bumi yang ditemukannya.
“Risiko eksplorasi itu besar sekali, 50:50. Jadi idealnya pemerintah memberi porsi lebih pada pengembang yang berhasil menemukan sumber energi itu,” kata Prijandaru.
Untuk mengurangi risiko tersebut, Kementerian ESDM memperkenalkan skema baru. Pengeboran ekspolorasi akan dilakukan pemerintah, baru ditawarkan ke investor. “Programnya mulai berjalan tahun ini hingga 2024 di 20 lokasi geothermal,” kata Ida.
Kementerian sebelumnya menyebut bakal melakukan eksplorasi panas bumi di 20 wilayah pada 2020-2024. Total kapasitas yang akan dikembangkan mencapai 683 MW. Gunung Galunggung, Jawa Barat memiliki porsi pengembangan paling besar, yakni 110 MW, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini.
Government and Public Relation Manager PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Sentot Yulia Nugroho belum mau berkomentar terkait peraturan baru ini. Tanggapan serupa juga diungkapkan oleh Juru Bicara Star Energy Iwan Azof. Menurut Iwan, perusahaannya masih berdiskusi soal penerapan peraturan baru ini bila sudah resmi diterbitkan.
Emisi Karbon Masih Tinggi
Direktur Bank Dunia untuk Indonesia dan Timur Leste Satu Kahkonen mengapresiasi langkah pemerintah melakukan penetrasi ke energi baru terbarukan meski belum optimal. “Perkembangan yang dicapai masih belum terlalu signifikan,” katanya.
Satu mengatakan energi dan transportasi berkontribusi besar terhadap emisi karbon di Indonesia. Pertumbuhan emisi karbon dua sektor ini naik hingga 20% hanya dalam dua dekade.
Di sektor energi misalnya, Insitute for Essential Services and Reform (IESR) mencatat selama sepuluh tahun terakhir, 88% pasokan listrik Indonesia berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Per 2018, porsi batu bara mencapai 60%, sementara panas bumi berada di peringkat ketiga.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028, pemerintah menargetkan bauran energi Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk pembangkit meningkat menjadi sebesar 23,2% pada 2028 atau dua kali lipat dari 11,4% pada 2019.
Sementara bauran energi pembangkit listrik dari batu bara turun menjadi 54,45% pada 2028 dari 62,7% pada 2019. Demikian pula bauran energi Bahan Bakar Minyak (BBM) turun menjadi 0,4% dari sebelumnya 4% tahun ini.
Menteri Perdagangan Selandia Baru David Parker menyebut Indonesia perlu meniru negaranya dalam penghapusan subsidi pada bahan bakar fosil. Negeri Kiwi tercatat telah menghilangkan subsidi bahan bakar fosil sejak 50 tahun lalu.
Sebagai gantinya, pemerintah mengembangkan energi baru untuk kebutuhan masayrakatnya. “Negara kami terpisah jauh dari negara tetangga sehingga pemanfataan enegri geothermal menjadi salah satu inovasi dalam memenuhi kenutuhan energi di negara kami,” kata David.
Selandia Baru juga memaksimalkan investasi ini dengan ikut berpartispasi pada proyek geothermal di pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Tulehu, Maluku. Data New Zealand-Indonesia Joint Commitment for Development untuk 2017-2022 menunjukkan Selandia Baru berencana mengucurkan 30 juta dolar Selandia Baru (sekitar Rp296,8 miliar) dalam bentuk pelatihan dan pendampingan teknis.
Penyumbang bahan: Muhamad Arfan Septiawan (magang)