Kawasan industri sebaiknya segera beralih ke penggunaan energi bersih. Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia alias METI menilai peralihan ini sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi karbon.
Direktur Eksekutif METI Paul Butarbutar menyebut Indonesia akan mengurangi gas rumah kaca secara bertahap. Sesuai Kesepakatan Paris, negara ini akan menekan jumlah polusi hingga 29% dengan usaha sendiri dan 41% dukungan internasional pada 2030.
Namun, pengembangan energi baru terbarukan atau EBT masih menemui sejumlah persoalan. Akses pembiayaan salah satunya. Pembiayaan di Indonesia kurang ekonomis.
Misalnya, untuk membangun proyek EBT suku bunga pinjamannya dalam bentuk dolar Amerika Serikat mencapai 6% hingga 7%. Angkanya lebih tinggi dibandingkan Arab Saudi yang hanya 2%. "Kalau memakai pembiayaan dalam negeri, dalam rupiah, bisa 10% hingga 13%. Ini mempengaruhi harga sangat besar," kata dia dalam diskusi virtual, Kamis (24/9).
Di samping itu, kontrak perjanjian jual beli listrik (PPA) antar-pengembang dan PLN risikonya tidak seimbang. Akibatnya, perbankan menganggap proyek EBT tidak bankable.
Pemerintah Susun Aturan Baru Soal Harga Listrik EBT
Pemerintah berencana memberikan kompensasi pembelian listrik energi terbarukan kepada PLN. Hal ini seiring dengan rencana penetapan harga listriknya yang berdasarkan keekonomian proyek. Ketentuan ini akan tertulis dalam peraturan presiden atau Perpres yang sedang disusun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Direktur Aneka Energi Terbarukan Kementerian ESDM Harris mengatakan harga listrik EBT akan mempertimbangkan jenis energi yang dikembangkan dan lokasi proyeknya agar ekonomis. Dalam peraturan yang lama, harga listrik itu berdasarkan biaya pokok produksi (BPP) listrik PLN sesuai lokasi proyek.
Dalam Perpres baru juga akan ada kompensasi untuk menutup selisih antara harga listrik dan BPP PLN. "Jika biaya produksi lebih rendah dan harga Perpres lebih tinggi, akan ada kompensasi yang pemerintah bayar ke PLN. Itu insentif untuk PLN. Sudah ada kompensasi seperti itu yang diberikan pemerintah," ujarnya.
Kompensasi ini nantinya akan diberikan untuk pembelian listrik dari seluruh jenis pembangkit energi terbarukan, termasuk panas bumi. Targetnya, aturan baru tersebut akan mengakselerasi target bauran EBT sebesar 23,2% pada 2028. Hingga 2020, angkanya baru di 9,15%.
Bauran EBT untuk pembangkit listrik ditargetkan naik menjadi 23,2% pada 2028 atau dua kali lipat dari 11,4% pada 2019. Sementara bauran energi pembangkit listrik dari batu bara turun menjadi 54,45% pada 2028 dari 62,7% pada 2019. Demikian pula bauran energi Bahan Bakar Minyak (BBM) turun menjadi 0,4% dari sebelumnya 4% tahun ini.
Hingga Juni 2020, realisasi batu bara (64,27%), air (8,04%), dan panas bumi (5,84%) telah melampaui target tersebut. Sedangkan, proporsi gas (17,81%), BBM dan BBN (3,75%), serta EBT lain (0,29%) masih di bawah dari target.