IEA Sebut Tenaga Surya Bakal Jadi Raja Baru Pasar Listrik Dunia

ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA
Badan Energi Internasional atau IEA memperkirakan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS akan mengalami pertumbuhan pesat dalam beberapa tahun ke depan.
Penulis: Sorta Tobing
14/10/2020, 16.27 WIB

Energi baru terbarukan akan mengambil peran utama dalam sektor kelistrikan. Badan Energi Internasional atau IEA memprediksi energi ramah lingkungan akan memenuhi 80% pertumbuhan permintaan listrik global dalam beberapa dekade ke depan.

Air tetap menjadi sumber energi terbarukan terbesar. Namun, matahari akan mengalami pertumbuhan pesat. “Saya melihat tenaga surya akan menjadi raja baru pasar listrik dunia,” kata Direktur Eksekutif IEA Doktor Fatih Birol dalam siaran persnya, Selasa (13/10).

Harga panel surya, menurut dia, secara konsisten terus menurun, bahkan menjadi lebih murah ketimbang pembangkit listrik tenaga batu bara atau gas alam di sebagian besar negara. Proyek tenaga matahari bahkan menawarkan listrik dengan biaya terendah dibandingkan bahan bakar lainnya.

Dalam publikasi IEA berjudul World Energy Outlook 2020 menyebutkan pertumbuhan energi terbarukan tersebut harus diimbangi dengan investasi kuat di jaringan kelistrikan. Tanpa itu, keandalan dan keamanan pasokan listrik menjadi lemah.

Bahan bakar fosil akan menghadapi berbagai tantangan. Permintaan batu bara tidak dapat kembali ke tingkat sebelum krisis karena banyak negara mulai beralih ke energi bersih. Permintaan gas alam masih berpotensi tumbuh signifikan.

Namun, minyak bumi tetap rentan terhadap ketidakpastian ekonomi akibat pandemi Covid-19. “Era pertumbuhan permintaan minyak global akan berakhir dalam dekade mendatang,” ucap Birol.

Masyarakat paling rentan saat ini merasakan dampak paling buruk krisis. Lebih dari 100 juta orang di dunia saat ini sulit mendapatkan layanan listrik. Jumlah orang yang tak mendapat akses listrik di wilayah Sub-Sahara Afrika diperkirakan akan terus meningkat.

Untuk emisi karbon, pandemi membuat angkanya berkurang 7% dibandingkan tahun sebelumnya. Tapi dunia masih jauh dari upaya mencegah perubahan iklim. Pertumbuhan ekonomi yang rendah bukanlah strategi tepat untuk menurunkan gas rumah kaca. “Ini hanya strategi yang semakin memiskinkan populasi dunia yang paling rentan,” ujar Birol.

Birol menyebut hanya perubahan struktural yang cepat dan tepat mampu menurunkan emisi karbon dunia. Investasi energi bersih harus terus didorong untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi emisi.

Sebagian besar dari upaya itu harus berfokus pada sektor industri, seperti pabrik batu bara, baja, dan semen. Hitung-hitungan IEA menunjukkan, apabila infrastruktur energi yang ada saat ini terus beroperasi dengan cara yang sama, maka suhu bumi dapat naik hingga 1,65 derajat Celcius.

Untuk mencapai visi dunia bebas emisi di 2050, perlu langkah dramatis dalam 10 tahun ke depan. Penurunan emisi sebesar 40% di 2030 artinya 75% pembangkit listrik di dunia memakai energi baru terbaruk (EBT) dan 50% kendaraan memakai listrik.

Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) sebelumnya mencatat lapangan kerja baru dari sektor EBT mencapai 11,5 juta pada 2019. Jumlah itu naik 4,4% dibandingkan tahun sebelumnya, sekaligus melanjutkan peningkatan sejak 2012.

Lapangan kerja di sektor energi terbarukan paling banyak berasal dari panel surya, yakni 3,8 juta. Posisi selanjutnya diisi oleh biofuel dengan 2,5 juta pekerjaan, tenaga air 2 juta pekerjaan, dan tenaga angin 1,2 juta pekerjaan.

Perubahan Iklim Akibatkan Bencana Cuaca

Perserikatan Bangsa-Bangsa alias PBB, melansir dari VoA Indonesia, memperingatkan jumlah orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan meningkat 50% pada 2030 dibandingkan dua tahun lalu. Pada 2018, sebanyak 108 juta orang membutuhkan bantuan tersebut.

Bencana cuaca, seperti gelombang panas, pemanasan global, kebakaran hutan, badai, kemarau, dan peningkatan jumlah topan terjadi lebih banyak setiap tahun. Badan Meteorologi Dunia atau WMO mengatakan ada 11 ribu bencana terkait cuaca dan iklim selama 50 tahun terakhr. Hal ini menyebabkan dua juta kematian dan menimbulkan kerugian ekonomi sebesar US$ 3,6 triliun.

Jumlah rata-rata kematian dari masing-masing bencana cuaca menurun sepertiga setiap tahun. Namun, jumlah bencana dan kerugian ekonominya terus meningkat.

“Sementara Covid-19 menyebabkan kirisis kesehatan dan ekonomi yang besar, penting untuk mengingat perubahan iklim akan terus meningkatkan ancaman kehidupan manusia, ekosistem, dan ekonomi hingga berabad-abad mendatang,” Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas.