Wewenang Dewan Energi Nasional atau DEN seolah tak bergigi selama ini. Tak banyak yang tahu soal lembaga negara ini. Padahal, perannya cukup vital dalam mementukan arah kebijakan energi nasional. Termasuk di dalamnya soal kebutuhan dan konsumsi energi jangka pendek hingga panjang, serta penerapan bahan bakar berkelanjutan.
Komisi VII DPR telah menetapkan delapan calon anggota DEN terbaru untuk periode 2020 sampai 2025 kemarin. Mereka telah melalui uji kelayakan dan kepatutan sejak Selasa lalu.
Sumber Katadata.co.id di parlemen menyebut delapan orang itu adalah Agus Puji Prasetyono (dari kalangan akademisi), Musri (akademisi), Satya Widya Yudha (industri), Herman Darnel Ibrahim (industri), Daryatmo Mardianto (konsumen), Eri Purnomohadi (konsumen), As Natio Lasman (teknologi), dan Yusra Khan (lingkungan hidup)."Secara resmi nama-nama tersebut nanti diumumkan dalam sidang paripurna DPR," ujarnya, Jumat 13/11).
Pakar hukum pertambangan Ahmad Redi berpendapat anggota DEN selama ini tidak memiliki kekuatan agar kebijakannya dijalankan oleh kementerian hingga pemerintah daerah. Hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang energi.
Aturan itu menempatkan DEN sebagai lembaga super power. Ketuanya adalah presiden, sementara ketua hariannya menteri energi dan sumber daya mineral (ESDM). Tapi kenyatannya, intervensi dan inisiasinya tidak maksimal. Kondisi tersebut yang membuat kebijakan energi sulit dirumuskan, apalagi dilaksanakan.
Ia menyarankan agar Dewan Energi Nasional memulai terobosan baru dengan membangun sistem koordinasi yang kuat di internalnya. Anggotanya juga perlu dari unsur pemangku kepentingan, seperti menteri atau kementerian dan pemimpin lembaga negara. Dengan begitu kebijakan energi dapat dijalankan seluruh pihak.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa tak meragukan kompetensi anggota DEN selama ini dan yang baru terpilih. Anggotanya terbentang dari praktisi hingga pelaku bisnis. Berbagai kombinasi ini seharusnya membuat perumusan kebijakan energi menjadi lebih mudah.
Pekerjaan rumah yang krusial untuk lembaga itu adalah membuat rencana umum energi nasional atau RUEN sesuai dengan kondisi global. Saat ini dunia sudah mengarah kepada transisi energi menuju dekarbonisasi. “Energi fosil mulai ditinggalkan dan energi baru terbarukan jadi prioritas utama dunia saat ini,” kata Fabby.
Nah, kebijakan energi nasional (KEN) dan RUEN di Indonesia masih berputar-putar dalam paradigma lama. Jargon Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah sudah tak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Pemanfaatan energi fosil tak lagi dapat dilakukan dalam skala masif.
Sebagai gantinya, bahan bakar ramah lingkungan harus dioptimalkan dengan inovasi teknologi bersih. "DEN harus mulai melihat RUEN dengan kacamata transisi energi dan dekarbonisasi, serta melakukan penyesuaian target energi terbarukan lebih tinggi lagi di 2030 dan 2050," kata dia.
Dalam tupoksinya, DEN sebenarnya memiliki fungsi pengawasan pelaksanaan RUEN, mendukung penyusunan rencana umum energi daerah (RUED), cadangan energi, dan neraca energi. Namun, Fabby menilai banyak rencana itu yang meleset dari target.
Misalnya, pencapaian energi terbarukan pada 23% pada 2025 dan 31% di 2050 masih lamban. Realisasinya saat ini baru 9% dan banyak pihak meragukan target itu dapat tercapai. Lalu, pada 2019 produksi batu bara dibatasi hanya 400 juta ton, tapi malah melesat mencapai lebih 600 juta ton. Capaian meleset lainnya adalah soal target konsumsi listrik dan cadangan minyak.
Perumusan Kebijakan Energi Nasional Harus Tepat
Ketua Komisi VII, Sugeng Suparwoto berharap para anggota DEN yang baru dapat merumuskan berbagai kebijakan energi secara tepat, rinci, dan komprehensif. Tak hanya itu, mereka juga harus mengawal, mengawasi, hingga kebijakan tersebut terealisasi dengan baik.
Dalam jangka pendek, DEN harus bertanggung jawab agar bauran energi dapat terlaksana dengan baik. Target bauran energi bersih di 2025 sebesar 23% harus tercapai.
Dalam jangka menengah, peran Dewan dibutuhkan untuk memantapkan dan memperkokoh keandalan dan kemandirian energi dalam negeri di tengah dunia menuju bahan bakar berkelanjutan. "Transisi menuju ke arah itu harus dikawal secara ketat masing-masing sektor," kata dia.
Pekerjaan rumah anggota DEN saat ini sangat banyak. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyebut tugas itu termasuk di sektor migas, mineral dan batu bara (minerba), kelistrikan dan juga energi terbarukan.
Dewan Energi Nasional juga perlu melakukan sosialisasi terkait fungsinya. Sejauh ini kebijakannya tidak terlihat publik. “RUEN harus direvisi atau ditambah mengikuti perkembangan zaman,” ujarnya.
Komitmen RI Turunkan Emisi Karbon Dipertanyakan
Semangat transisi energi di Indonesia masih rendah. Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya berpendapat hal ini terlihat dari alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk aktivitas pembangunan rendah karbon (LCD) selama 2018 hingga 2020 yang minim.
Alokasinya pada 2018 sebear Rp 34,5 triliun atau 1,6% dari APBN. Lalu, dua tahun berikutnya menurun masing-masing menjadi Rp 23,8 triliun dan Rp 23,4 triliun.
Negara ini masih sangat bergantung pada bahan bakar batu bara. Porsinya pada bauran energi primer pembangkit listrik mencapai 62,2% pada 2019. Sementara, pemakaian energi terbarukan masih jalan di tempat.
Hal ini membuat Indonesia kalah dibandingkan Vietnam. Dalam setahun, negara itu dapat meningkatkan kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) hingga 20 kali lipat. “Pandemi Covid-19 seharusnya tak semata menjadi momen pemulihan ekonomi tapi juga transformasi energi,” kata Berly.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta membantah pandangan itu. Komitmen pemanfaatan energi baru terbarukan telah tertuang dalam dua regulasi. Pertama, Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang pelaksanaan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Kedua, Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024.
Soal batu bara, pemerintah berkomitmen melakukan proyek hilirisasi dan gasifikasi. “Ini bagian mengurangi emisi karbon,” ucapnya.
Komitmen ini pun dipertanyakan oleh dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gadjah Mada Poppy Ismalina. Pasalnya, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang menghapus pasal-pasal penting Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang lingkungan hidup. “Ini malapetakan konservasi alam,” katanya.
Upaya pengurangan emisi karbon pun terancam mundur. Soal analisis dampak lingkungan atau Amdal banyak perubahan yang tidak sesuai lagi dengan semangat konservasi hutan. UU Cipta Kerja menghapus Komisi Penilai Amdal dan penyusunannya hanya melibatkan masyarakat terdampak. Pengawasan dan sanksi administrasi seluruhnya ada di tangan pemerintah pusat.
Poppy mengatakan omnibus law itu memfasilitasi pemanfaatan hutan lindung untuk usaha karena memberi kemudahan izin. Pemerintah juga menghidupkan kembali aturan pengusaan hak guna usaha atau HGU selama 90 tahun.
Langkah pemerintah juga bertolak belakang dengan upaya pengurangan emisi karbon karena masih bergantung dengan komoditas minyak sawit dan batu bara. Padahal, negara ini merupakan salah satu penghasil emisi gas rumah kaca dunia. Polusi itu terutama berasal dari deforestasi, kebakaran besar lahan gambut untuk perkebunan sawit, dan pemakaian bahan bakar fosil.